Korannusantara.id, Medan – Selama ini perbincangan tentang politik uang atau money politic lebih fokus pada sisi kecil dari permasalahan di bagian hilir yang sama sekali tak menjelaskan akar permasalahan.
Paling-paling perbincangan hanya akan menyerempet soal pidana dan regulasi terkait yang jika pun didirikan lembaga superbodi untuk pemberantasannya seperti KPK, dipastikan tak akan pernah menuntun ke arah jalan keluar.
Lebih jauh, kata Pengamat politik UMSU ini ritme protes dan gerakan perlawanan pun kerap justru dikendalikan oleh para pihak terbatas pada elit suatu bangsa yang bertikai soal pergiliran di antara sesama mereka.

Kekerasan struktural bukan kejahatan biasa. Berbeda dengan ketika seseorang mencuri sandal jepit, tak diperlukan prosedur yang rumit untuk mengkonstruksi aspek hukumnya, pasal pidana dan vonis pengadilan untuknya.
Kekerasan struktural seakan mengendap seolah berada di bawah permukaaan, amat tak mudah dilihat, dan pelakunya selalu pemangku jabatan dan pemegang posisi struktural yang bertanggung jawab atas permasalahan besar seperti kemiskinan massal, ketidakadilan dan semacamnya.
Karena itu, ruang diskusi kritis untuk membongkarnya selalu potensil beroleh jeratan pidana dan umumnya media pun tunduk pada kekuasaan politik rezim.
Di sebuah tempat dengan potensi alam luar biasa, apakah itu emas, minyak, panas bumi dan lain-lain, seyogyanya akan menjadi faktor pendongkrak kesejahteraan ketika dieksploitasi.
Namun korporasi kerap hanya dengan kertas izin selembar dari pemegang otoritas politik dapat melakukan apa saja secara aman meski korban manusia pewaris lahan yang mengandung kekayaan sumberdaya alam itu menjadi taruhannya.
Proses ini kerap harus mendayagunakan semua alat kekuasaan negara. Paradoks ini melukiskan betapa kejahatan atruktural begitu dahsyat meneror nasib bangsa di sebuah negara.
Karena itulah kejahatan struktural tak mudah untuk dibawa ke peradilan manapun kecuali peradilan sosial melalui gerakan sosial yang menjungkirbalikkan keadaan. Kejahatan struktural berperan penting dalam mekanisme supply modal transaksi politik uang untuk mempertahankan kemapanan elit.
Di pihak lain kejahatan kultural dapat menjadi sarana pelanggengan segala bentuk penyimpangan sosial, politik dan budaya yang bertanggung jawab atas kondisi sosial yang buruk.
Kondisi kekerasan kultural, di sisi lain, mewajarkan semua praktik buruk seperti pemilu transaksional yang amat menguntungkan oligarki politik, oligarki ekonomi dan oligarki budaya.
Kombinasi kejahatan struktural dan kejahatan kultural memastikan perubahan sosial tak mungkin terjadi kecuali muncul gerakan seperti yang dihadapi oleh Marcos di Filipina dan gerakan yang relatif sama di negara lain.
Bisakah perubahan semisal reformasi tanpa korban manusia? Tentu saja bisa, tergantung pada kondisi struktural tertentu dan kepemimpinan gerakan yang terpercaya.
Penulis: Shohibul Anshori Siregar (Pangamat Politik UMSU)