• Redaksi
  • Kontak Iklan
  • Tentang Kami
  • Kode Etik Jurnalistik
  • Pedoman Media Siber
Koran Nusantara
Advertisement
  • Home
  • Internasional
  • Nasional
  • Daerah
  • Politik
  • Artikel
  • Artis
  • Hukum & Kriminal
  • Kuliner
  • Pendidikan
  • Sports
  • Bisnis
  • Opini
No Result
View All Result
  • Home
  • Internasional
  • Nasional
  • Daerah
  • Politik
  • Artikel
  • Artis
  • Hukum & Kriminal
  • Kuliner
  • Pendidikan
  • Sports
  • Bisnis
  • Opini
No Result
View All Result
Koran Nusantara
No Result
View All Result
  • Home
  • Internasional
  • Nasional
  • Daerah
  • Politik
  • Artikel
  • Artis
  • Hukum & Kriminal
  • Kuliner
  • Pendidikan
  • Sports
  • Bisnis
  • Opini
Home Opini

Catatan Kritis Kebijakan Kehutanan: Antara Angka dan Keadilan

Oleh: Rizki Sukarman S

Redaksi by Redaksi
3 September 2025
in Opini
0
Catatan Kritis Kebijakan Kehutanan: Antara Angka dan Keadilan

Ket : Gambar Ilustrasi

0
SHARES
29
VIEWS
Share on FacebookShare on Twitter

Korannusantara.id – Opini, Kebijakan kehutanan di Indonesia kerap dibangun di atas data dan klaim keberhasilan yang seolah-olah netral dan bebas nilai. Pemerintah sering menampilkan angka penurunan deforestasi, jumlah hektar lahan yang direhabilitasi, atau ratusan ribu hektar izin perhutanan sosial yang telah diterbitkan. Angka-angka ini kemudian dijadikan dasar untuk menyatakan bahwa pengelolaan hutan sedang berada di jalur yang benar. Namun, di balik statistik tersebut, ada kenyataan sosial, politik, dan ekologis yang jauh lebih kompleks, yang sering kali tak tercermin dalam laporan resmi.

Sebagaimana diingatkan oleh Hariadi Kartodihardjo, “fakta” tidak pernah netral. Dalam kerangka positivistik, fakta dianggap bisa diukur secara objektif -berapa hektar hutan ditebang atau ditanami kembali.

Tetapi dalam kerangka post-positivistik, fakta juga sarat dengan interpretasi dan pengalaman orang yang mengalaminya. Apa arti rehabilitasi bagi masyarakat yang tidak pernah dilibatkan? Apa arti penurunan deforestasi bila hutan adat mereka justru berubah status menjadi konsesi industri? Pertanyaan-pertanyaan ini menunjukkan bahwa fakta teknis tidak bisa dipisahkan dari dimensi keadilan.

Kritiknya menjadi penting, karena pola lama kebijakan kehutanan Indonesia masih bertahan: dominasi pandangan teknokratis, yang menempatkan hutan sebagai objek administratif belaka. Sejak lama, hutan dilihat terutama sebagai sumber daya ekonomi negara – baik untuk kayu, perkebunan, tambang, maupun infrastruktur.

Narasi keberhasilan kemudian direduksi pada angka-angka formal, sementara dimensi sosial seperti konflik tenurial, kriminalisasi masyarakat adat, atau ketidakadilan distribusi lahan, dikesampingkan.

Akibatnya, kebijakan kehutanan lebih sering menjadi alat legitimasi negara dan kepentingan pasar, alih-alih menjadi solusi bagi keberlanjutan ekologi dan kesejahteraan masyarakat.

Dengan kerangka berpikir demikian, hutan di atas kertas tampak lestari, tetapi di lapangan sering menghadirkan paradoks: deforestasi menurun menurut data resmi, namun bencana ekologis terus meningkat; perhutanan sosial digadang sebagai jawaban keadilan, tetapi akses masyarakat tetap penuh hambatan; rehabilitasi hutan diklaim berhasil, tetapi tutupan vegetasi yang ditanam rapuh dan tidak sesuai kebutuhan lokal.

Di sinilah relevansi kritik menjadi semakin tajam – bahwa kebijakan kehutanan tidak cukup berpijak pada angka statistik, tetapi harus membaca fakta dari kacamata pengalaman, persepsi, dan keadilan sosial.

Antara Data dan Realitas Lapangan

Klaim keberhasilan kebijakan kehutanan di Indonesia hampir selalu dibingkai melalui data kuantitatif. Pemerintah, misalnya, sering mengumumkan penurunan angka deforestasi sebagai capaian yang patut dibanggakan. Namun, pertanyaannya: apakah angka tersebut benar-benar mencerminkan realitas di lapangan? Tidak jarang data penurunan deforestasi lahir dari perubahan metodologi perhitungan, redefinisi kawasan hutan, atau penundaan pencatatan kasus alih fungsi lahan. Dengan kata lain, angka bisa dikelola sedemikian rupa untuk menciptakan kesan positif, tanpa benar-benar mencerminkan kondisi ekologi dan sosial yang sesungguhnya.

Di sisi lain, masyarakat yang tinggal di sekitar hutan sering mengalami cerita yang berbeda. Bagi mereka, hutan bukan sekadar “tutupan lahan” yang bisa dihitung lewat citra satelit, melainkan ruang hidup yang menentukan sumber pangan, air, dan identitas budaya.

Tidak sedikit komunitas adat atau desa hutan yang melaporkan semakin sulit mengakses wilayah mereka sendiri karena klaim kawasan negara, masuknya izin tambang, atau ekspansi perkebunan. Fakta sosial ini jarang masuk ke dalam laporan resmi pemerintah, karena ia tidak bisa direduksi menjadi sekadar angka hektar.

Program Rehabilitasi Hutan dan Lahan (RHL) memberikan contoh nyata. Secara resmi, ratusan ribu hektar diklaim sudah direhabilitasi setiap tahun. Akan tetapi, banyak penanaman dilakukan dengan bibit yang tidak sesuai dengan kondisi ekologi setempat, atau dengan pola kerja yang hanya melibatkan masyarakat sebagai buruh harian dengan insentif minim. Setelah proyek selesai, tidak ada mekanisme keberlanjutan yang kuat, sehingga sebagian besar tanaman mati dan lahan kembali gundul.

Dari perspektif positivistik, angka penanaman tetap bisa dilaporkan sebagai “sukses”. Namun dari perspektif post-positivistik, jelas terlihat kegagalan: masyarakat tidak merasa memiliki, manfaat tidak berkelanjutan, dan keadilan lingkungan tidak tercapai.

Contoh serupa terjadi pada kebijakan Perhutanan Sosial. Pemerintah menyebut sudah jutaan hektar diberikan kepada masyarakat. Akan tetapi, angka tersebut menutupi kenyataan bahwa izin seringkali sulit diurus, pendampingan minim, dan akses ke pasar terbatas. Bahkan dalam beberapa kasus, masyarakat pemegang izin justru berhadapan dengan konflik baru karena tumpang tindih klaim dengan konsesi besar. Bagi birokrasi, angka hektar perhutanan sosial adalah bukti keberhasilan; bagi masyarakat, ia bisa menjadi sekadar dokumen tanpa makna.

Jurang antara data resmi dan pengalaman lapangan inilah yang menjadi inti masalah. Selama kebijakan kehutanan lebih sibuk merapikan statistik ketimbang menyelesaikan konflik dan ketidakadilan, maka keberhasilan yang diklaim tidak akan pernah menyentuh akar persoalan. Dengan kata lain, kita sedang menyaksikan “keberhasilan semu” di mana hutan tampak lestari di laporan, tetapi rapuh dalam kenyataan.

Politik Angka dan Ketidakadilan Struktural

Di balik dominasi angka dalam kebijakan kehutanan, tersembunyi fenomena yang lebih dalam: politik angka. Data tidak lagi sekadar alat untuk memahami realitas, melainkan menjadi instrumen untuk membentuk realitas sesuai kepentingan tertentu. Angka deforestasi, misalnya, bisa dijadikan legitimasi bahwa hutan “baik-baik saja”, sehingga kritik terhadap ekspansi tambang, food estate, atau perkebunan raksasa dianggap berlebihan. Statistik perhutanan sosial yang masif bisa dipublikasikan untuk menunjukkan keberpihakan negara kepada rakyat kecil, padahal di lapangan izin sering hanya menjadi “dokumen mati” tanpa dukungan nyata.

Politik angka inilah yang berbahaya, karena ia menciptakan tirai legitimasi. Kebijakan yang gagal bisa tetap dipertahankan karena laporan statistik menunjukkannya “berhasil”. Padahal, dampak nyata di lapangan konflik agraria, kerusakan ekologi, hilangnya akses masyarakat terus terjadi. Inilah bentuk kekuasaan simbolik: angka menjadi tameng, sementara ketidakadilan struktural dibiarkan berjalan.

Salah satu contoh paling nyata adalah penetapan 63% daratan Indonesia sebagai kawasan hutan negara. Secara administratif, ini dianggap fakta objektif. Namun, bagi jutaan masyarakat adat dan desa yang sudah berpuluh tahun tinggal di wilayah tersebut, status “kawasan negara” justru mengubah mereka menjadi penghuni ilegal di tanah leluhurnya sendiri.

Hak-hak adat tidak diakui, sementara izin tambang, HPH, atau perkebunan besar justru dengan mudah dikeluarkan. Artinya, data kawasan hutan tidak pernah netral ia adalah hasil keputusan politik yang mendefinisikan siapa yang berhak, siapa yang dianggap sah, dan siapa yang bisa dikorbankan.

Ketidakadilan struktural juga tampak dalam alokasi sumber daya. Anggaran besar digelontorkan untuk program-program teknis seperti rehabilitasi atau pembangunan infrastruktur kehutanan, tetapi minim dukungan untuk penyelesaian konflik, penguatan kelembagaan masyarakat, atau pemberdayaan ekonomi lokal. Dengan kata lain, kebijakan lebih memprioritaskan citra teknokratis ketimbang kebutuhan riil masyarakat. Hasilnya adalah paradoks: hutan tampak tertata dalam laporan, tetapi rapuh secara sosial dan ekologis di lapangan.

Jika politik angka ini terus dipelihara, maka kebijakan kehutanan tidak akan pernah menyentuh inti persoalan: ketimpangan penguasaan lahan, marginalisasi masyarakat adat, dan degradasi ekologis yang disebabkan oleh ekspansi industri ekstraktif.

Di sinilah pentingnya mengkritisi cara pandang positivistik yang terlalu dominan. Selama angka menjadi satu-satunya ukuran kebenaran, keadilan akan terus tersisih dari kebijakan kehutanan.

Urgensi Paradigma Baru

Kondisi di atas menunjukkan bahwa kebijakan kehutanan tidak bisa lagi berjalan dengan logika lama: mengelola hutan lewat angka, sembari menutup mata terhadap realitas sosial. Paradigma baru sangat mendesak, yaitu pergeseran dari pengelolaan teknokratis menuju pengelolaan berbasis keadilan ekologis dan sosial.

Pertama, proses pembuatan kebijakan harus benar-benar partisipatif. Selama ini, konsultasi publik hanya menjadi formalitas, di mana suara masyarakat jarang diakomodasi secara serius. Padahal, pengalaman masyarakat lokal, pengetahuan adat, dan kebutuhan riil desa hutan merupakan “fakta” yang sama pentingnya dengan data satelit atau laporan teknis. Partisipasi sejati bukan hanya soal hadir dalam rapat, melainkan memastikan suara masyarakat memengaruhi keputusan akhir.

Kedua, indikator keberhasilan harus dirombak. Tidak cukup berhenti pada ukuran kuantitatif berapa hektar hutan ditanami, berapa izin dikeluarkan, berapa persen deforestasi turun. Keberhasilan sejati harus diukur dari berkurangnya konflik tenurial, meningkatnya kesejahteraan masyarakat sekitar hutan, pulihnya ekosistem secara berkelanjutan, dan tegaknya rasa keadilan. Dengan kata lain, keberhasilan kebijakan tidak boleh berhenti di laporan, tetapi harus terasa di kehidupan nyata.

Ketiga, transparansi dan akuntabilitas data harus diperkuat. Data kehutanan tidak boleh dimonopoli pemerintah semata, melainkan perlu diverifikasi oleh lembaga independen, akademisi, jurnalis, dan komunitas masyarakat sipil.

Dengan demikian, publik tidak hanya disuguhi angka yang sudah dipoles, tetapi bisa menguji dan mengkritisi secara terbuka. Mekanisme ini penting untuk mencegah manipulasi dan memastikan data benar-benar mencerminkan realitas.

Akhirnya, kebijakan kehutanan perlu dipahami bukan sekadar instrumen teknis mengatur lahan, tetapi arena politik yang menentukan siapa yang dilindungi, siapa yang dikorbankan, dan siapa yang diuntungkan.

Dengan mengakui dimensi post-positivistik, kita diingatkan bahwa hutan bukan hanya deretan angka di atas peta, melainkan ruang hidup, ruang sejarah, dan ruang perjuangan bagi banyak komunitas.

Penutup

Hariadi Kartodihardjo benar bahwa kebijakan tidak bisa hanya berdiri di atas positivisme. Ketika fakta dipandang semata sebagai angka, maka kebijakan kehutanan mudah terjebak menjadi legitimasi kekuasaan. Sebaliknya, dengan mengakui dimensi post-positivistik, kita dipaksa untuk melihat hutan bukan hanya sebagai “hektar” dan “volume kayu”, melainkan sebagai ruang hidup, ruang keadilan, dan ruang konflik yang nyata.

Selama kebijakan kehutanan tidak mengakui realitas sosial dan politik ini, maka apa yang disebut “keberhasilan” hanyalah bayangan yang dibangun dari statistik. Hutan mungkin tampak lestari di atas kertas, tetapi rapuh di hadapan kenyataan.

250
Tags: KeadilanKebijakan HutanKehutananRizki Sukarman
Previous Post

Panglima TNI Dampingi Menhan RI Tinjau Latihan Puncak Super Garuda Shield 2025 di Baturaja

Next Post

Vinus Forum: Demokrasi Indonesia Terancam Krisis Legitimasi Jika Partai Politik Tak Lakukan Reformasi

Redaksi

Redaksi

Satu Klik Rubah Dunia

Next Post
Vinus Forum: Demokrasi Indonesia Terancam Krisis Legitimasi Jika Partai Politik Tak Lakukan Reformasi

Vinus Forum: Demokrasi Indonesia Terancam Krisis Legitimasi Jika Partai Politik Tak Lakukan Reformasi

Tinggalkan Balasan Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

SMA Negeri 1 NA IX-X Dirgahayu Republik Indonesia

PERUMDA TIRTA BHAGASASI

PERUMDA TIRTA BHAGASASI
UCAPAN HUT RI DAN HUT KABUPATEN BEKASI
Keluarga Besar Perumda Tirta Patriot

Iklan Ucapan Selamat

Kepala Disdik Kabupaten Labuhanbatu

Jasa Endorse Pemberitaan KoranNusantara

  • Redaksi
  • Kontak Iklan
  • Tentang Kami
  • Kode Etik Jurnalistik
  • Pedoman Media Siber

© 2025 JNews - Premium WordPress news & magazine theme by Jegtheme.

No Result
View All Result
  • Home
  • Internasional
  • Nasional
  • Daerah
  • Politik
  • Artikel
  • Artis
  • Hukum & Kriminal
  • Kuliner
  • Pendidikan
  • Sports
  • Bisnis
  • Opini

© 2025 JNews - Premium WordPress news & magazine theme by Jegtheme.