KoranNusantara.id- Peserta Advance Training (LK-III) meskipun hanya diikuti sekitar 15 orang, (yang terjauh dari Cabang Bima dan Kupang), namun tetap terasa dinamis, karena keterlibatan peserta yang intens serta penuh semangat dalam menguak dan menggumuli terma diskusi “Inklusivitas Islam dan Ke-Indonesiaan”.
Memang tema ini tergolong klasik, namun menjadi aktual karena bersentuhan dengan konteks kekinian dan kedisinian.
Semua ini terjadi di depan mata kita, saat ini, di sini, fenomena buram dan kusam, atau wajah paradoks keberbangsaan dan kebernegaraan tengah melanda, yang ditandai oleh rusaknya sistem demokrasi politik, penyelenggaraan sistem pemerintahan berwatak, otoriteriaism, maciavelism, yakni kepribadian yang cenderung manipulatif, egois, dan berorientasi hanya pada keuntungan pribadi.
Hal itu dapat dilihat dengan semakin menguatnya invasi ekonomi kapitalistik dalam penguasaan dan pengelolaan Sumber Daya Energi, yang berlangsung sejak era reformasi, telah menjerumuskan Indonesia ke dalam puasaran keterjajahan.
Umat islam mayoritas di negeri sendiri tetapi menjadi golongan terlemah, terkalahkan dan bertekuk lutut di bawa dominasi dan hegemoni para oligarki.
Semua proses itu dengan mudah terjadi, terlihat oleh kasat mata, tentu mengagetkan dan tak terduga oleh kita semua.
Hal demikian tentu diakibatkan oleh semua anak bangsa terutama umat Islam sebagai mayoritas penduduk Indonesia, gagal mengintitusikan nilai-nilai doktrinal keislaman untuk tumbuh menjadi watak atau karakter kebangsaan lalu menjadi sikap dan etos bernegara.
Bila nilai keislaman dan kebangsaa itu dirawat menjadi cara pandang, cara sikap, lalu menjadi attitude atau karakter kita semua anak bangsa, sudah pasti Indonesia akan menjadi negara yang kuat dan berintegritas, yang tidak bisa ditundukkan oleh kekuatan dunia se-raksasa apapun.
Pasca keruntuhan gerakan Partai Komunis Indonesia, dan ketidakstabilan sistem pemerintahan akibat pergantian kabinet yang terus-menerus, Nurcholish Madjid (Cak Nur) sebagai Ketua Umum PB HMI (1966–1971) menawarkan resolusi peradaban, yakni perlunya pembaruan pemikiran Islam yang terbuka, rasional, dan modern.
Resolusi peradaban bertujuan terbentuknya tatanan masyarakat Indonesia baru yang pluralistik namun berkeadilan.
Ia merumuskan gagasan Inklusivitas Islam Ke-Indonesiaan, yang menempatkan Islam sebagai nilai fundamental dalam kehidupan berbangsa, menumbuhkan persatuan, keadilan, musyawarah, kesetaraan, dan gotong- royong sebagai karakter utama masyarakat, menjadi tipikal urat nadi kultur kebangsaan dan kebernegaraan.
“Akan tetapi kenapa Indonesia kini menjadi bopeng, kusam dan suram yang makin jauh dari espektasi politik dan cita-cita politik para pendiri bangsa?”
Tentulah tidak mudah menghadirkan kunci jawaban atas krisis atau dilema irasional yang dihadapi oleh bangsa Indonesia saat ini.
Sebagai penggiat kaderisasi HMI dan pembaca pemikiran Cak Nur, saya ingin menegaskan bahwa kegagalan proses keberbangsaan dan kebernegaraan kita dewasa ini adalah akibat dari kegagalan kita menginstitusikan proyek inklusivitas Islam Keindonesiaan, yang digagas oleh seorang Pemikir Islam terkemuka oleh Cak Nur (Dr. Nurcholis Madjid) bersama kawan-kawan seangkatannya saat masih memimpin HMI periode 1966 – 1971.
Inklusivitas Islam ke-Indonesiaan, secara hakiki bermakna Islam agama universalitas yang sarat dengan muatan nilai-nilai kebenaran, kebaikan, dan keindahan itu, dapat tumbuh mewarnai iklim sosial kemasyarakatan maupun biopolitik keberbangsaan dan kebernegaraan.
Dimana kesetaraan hak politik, ekonomi, dan hukum tanpa diskriminasi antara suku, golongan, etnik maupun agama.
Bila proses internalisasi, eksternalisasi nilai universalitas islam secara massive oleh segenap activis HMI dan alumninya maka pasti akan membuahkan kebuayaan yang berpengaruh bagi kehidupan kemanusiaan secara umum.
Semua warga negara keberadaannya sama dihadapan hukum. Tidak ada satu kekuatanpun lebih unggul dan lebih super dari yang lain.
Negara yang dinafasi oleh nilai-nilai Islam menjamin terciptanya keadilan ekonomi pada setiap individu, sehingga menjamin terjadinya keadilan sosial bagi segenap warga negara (tanpa terkecuali).
Realitasnya, dari waktu ke waktu, potret buram, dekil, dan kusam Indonesia semakin nyata, bahkan merupakan fakta sosial yang buruk, di sebuah negeri yang memiliki jumlah umat Islam terbesar di dunia. Saya kira ini sesuatu ironi dan sungguh paradoks.
Ekspresi Keislaman yang kering, kusam tidak meretas dan menginstitusi menjadi sifat dan watak kebangsaan maupun kebernegaraan.
Muslim selalu menjadi kekuatan yang terkalahkan, bahkan terkungkung dalam kawah kejumudan fatalistis.
Lalu mengadaptasikan diri dengan berbagai tindakan irasionalitas yang bersifat retorik.
Langkah absurditas itu, ternyata tidak disadari oleh sebagian kalangan aktivis Islam, sebagai sekadar langkah transitif untuk menghilangkan egoisme personal, juga rasa malu dari watak kesombongan yang bodoh.
Bahkan boleh jadi adaptasi tersebut bukan langkah cerdas yang dapat memiliki pengaruh, melainkan mereka adalah orang orang tengik yang ambisius dan ambigu, yang bisa dipengaruhi lalu diperalat untuk memuluskan hidden agenda dari kelompok tertentu.
Yang lebih memalukan lagi mereka hanya difungsikan sekedar agen, kaki tangan, budak oligharcy dan mengharap upah untuk makan dari dakinya para kapitalis.
Yakni, kelompok yang paling bertanggung jawab dalam mengawal dan menginstitusikan pemikiran inklusivitas Islam, Ke-Indonesiaan yang digagas oleh Cak Nur, seharusnya menjadi tugas kader HMI dan alumninya untuk mengawal dan menginstitusikan menjadi watak dan karakter keberbangsaan dan kebernegaraan.
Nilai nilai islam hidup dan tumbuh mewarnai kehidupan berbangsa dan bernegara.
Kader alumnus HMI tak terhitung jumlahlanya menempati semua level birokrasi penyelanggara negara, baik di eksekutif, legislatif, maupun yudikatif.
Seandainya saja, semua kader HMI dan alumnus HMI di sesua level institusi negara maupun di semua jaringan sosial, sanggup merawat integritasnya sebagai kader umat dan kader bangsa, maka dengan kuasanya, dia bisa menghentikan atau menggagalkan semua hal yang sekiranya merusak hak-hak kemanusiaan, baik individu atau masyarakat.
Boleh jadi Inkulisivitas Islam Keindonesiaan, baru di level diskursus atau kajian wacana intelektual di kalangan para ilmuwan, tokoh-tokoh maupun aktivis muda Islam, namun gagal dalam implementasinya sebagai bangunan peradaban kesebangsaan dan kebernegaraan.
Islam pada akhirnya hanya sekadar nilai doktrinal yang tidak mempengaruhi, alias tidak menginstitusi menjadi watak dan pola hidup berbangsa dan bernegara.
Indonesia kemudian menjadi negara yang ringkih, rentan dalam menghadapi setiap tantangan.
Toh pun demikian sebagai kader umat dan bangsa, kita tidak boleh berhenti di sini, terantuk, menelan kegagalan, namun kita masih punya ruang ikhtiar yang kuat, melakukan pergumulan yang keras dan menggali strategi untuk membangkitkan peradaban Islam modern yang mampu menjadi fondasi dan spirit kebangkitan bangunan nasional.
Jika Inklusivitas Islam, Keindonesiaan, dan Kemoderanan sebagaimana yang telah digagas oleh Cak Nur berhasil diinstitusikan oleh kader HMI, maka Islam tidak hanya menjadi keyakinan spiritual, tetapi dapa juga ditransformasikan menjadi etika politik, moralitas kebangsaan, dan prinsip dasar dalam mengelola negara yang berdaulat dan berkeadilan.
Oleh: MHR. Shikka Songge/ Instruktur NDP HMI Tingkat Nasional/Wakil Sekjen Bidang Kaderisasi MN KAHMI (sebuah Catatan dari Arena Advance Training LK3 BADKO HMI Jambi)
(RED)