Korannusantara.id – Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universitas Muhammadiyah Tapanuli Selatan (UMTS) telah dibekukan selama empat tahun terakhir, memicu kekecewaan dan kemarahan di kalangan mahasiswa. Mereka mendesak pimpinan universitas segera mengambil langkah konkret untuk mengaktifkan kembali organisasi mahasiswa tersebut agar perwakilan mahasiswa dapat berfungsi sebagaimana mestinya.
Menurut berbagai sumber, pembekuan BEM UMTS terjadi sejak 2020 tanpa ada kejelasan mengenai alasan dan solusi dari pihak kampus. Selama periode tersebut, mahasiswa kehilangan wadah resmi untuk menyuarakan aspirasi, mengawal kebijakan kampus, serta menginisiasi berbagai kegiatan akademik maupun sosial.
“Kami merasa terabaikan. Seharusnya BEM menjadi jembatan antara mahasiswa dan pihak universitas. Tapi dengan pembekuan ini, kami seperti kehilangan hak untuk berorganisasi dan menyampaikan pendapat secara kolektif,” ujar seorang mahasiswa
Mahasiswa menilai tidak adanya BEM telah berdampak negatif pada dinamika kampus, termasuk dalam advokasi masalah akademik, fasilitas, serta kesejahteraan mahasiswa. Mereka pun mulai mendesak rektorat untuk segera mengambil tindakan guna mengembalikan eksistensi BEM.
Sementara itu, situasi ini semakin memunculkan polemik setelah diketahui bahwa berbagai tugas dan peran yang sebelumnya menjadi kewenangan BEM kini diambil alih sepenuhnya oleh Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM). IMM, yang merupakan organisasi kemahasiswaan eksternal tetapi sering dianggap sebagai bagian dari internal kampus, kini berperan menggantikan BEM dalam berbagai kegiatan contohnya mengospel MABA.
“Kami melihat semua program yang dulu dilakukan BEM kini dipegang oleh IMM. Ini menimbulkan pertanyaan, apakah kampus sengaja membiarkan IMM mengambil alih, sehingga BEM tidak lagi dianggap perlu?” kata seorang mahasiswa lainnya.
Di tengah desakan mahasiswa, Ketua Komisi Pemilihan Mahasiswa (KPM), Roni, mengungkapkan bahwa pihaknya tidak dapat memulai proses Pemilihan Raya (Pemira) tanpa adanya pencairan dana dari pihak rektorat.
“Kami panitia (KPM) tidak memiliki wewenang untuk memulai Pemilihan Raya (Pemira), kecuali dana yang diajukan pada proposal dan besaran dananya diberikan rektorat utuh agar kami mengelola dan mulai menyebar undangan kepada seluruh mahasiswa untuk Pemira,” tegas Roni.
Pernyataan ini semakin memperkuat dugaan bahwa ada hambatan struktural yang menyebabkan BEM tetap tidak aktif. Beberapa mahasiswa pun mempertanyakan apakah ada kepentingan tertentu di balik tidak segera diadakannya Pemira.
“Kalau masalahnya dana, kenapa rektorat tidak segera mencairkannya? Apakah ada niat untuk menghambat proses demokrasi di kampus?” ujar salah satu mahasiswa yang geram dengan kondisi ini.
Sejumlah mahasiswa bahkan mengancam akan menggelar aksi jika pihak kampus tidak segera memberikan solusi konkret. Mereka berharap pimpinan UMTS segera membuka ruang dialog guna mencari jalan keluar terbaik.
Hingga saat ini, pihak rektorat belum memberikan pernyataan resmi terkait status BEM UMTS maupun pencairan dana Pemira. Namun, tekanan dari mahasiswa semakin kuat agar universitas segera mengambil langkah nyata untuk menghidupkan kembali organisasi mahasiswa yang telah lama mati suri. Tapanuli Selatan, 12 Februari 2025