Korannusantara.id, Jakarta – Sentral Organisasi Karyawan Swadiri Indonesia (SOKSI) berkomentar jelang sidang putusan MK tentang sengketa Pilpres 2024 pada Senin 22 April 2024.
Ketum Depinas SOKSI, Ir Ali Wongso Sinaga mengaku yakin amar putusan MK dalam koridor kewenangannya yang UUD 1945 dan UU MK serta sesuai UU Pemilu.
“Meskipun delapan Hakim MK di bawah tekanan dan provokasi berbagai pihak mulai pembentukan opini publik dan unjuk rasa kelompok tertentu hingga tekanan psikologis terselubung seperti berbagai amicus curiae oleh siapapun dan darimanapun yang dicoba direkayasa oleh pihak-pihak tertentu,” kata Ali Wongso dalam keterangan tertulis, Sabtu (20/4/2024).
Ali mengatakan MK wajib konsisten pada koridor kewenangannya berdasarkan Konstitusi dan UU yang berlaku.
Menurut Ali, aturan tentang MK dalam UUD 1945 dan dalam UU MK tidak perlu ditafsirkan kembali.
Selain itu, Ali mengatakan seluruh proses persidangan MK tentang sengketa Pilpres juga sudah berlangsung dengan transparan kepada publik.
“Maka ada pantauan oleh publik dan pengawasan sosial oleh semua pihak dan hasilnya mesti dapat dipertanggungjawabkan secara konstitusional dan hukum,” katanya.
SOKSI, kata Ali, memandang MK semestinya menolak seluruh gugatan dengan dalil dan petitum para pemohon Paslon 01 Anies-Amin dan Paslon 03 Ganjar-Mahfud.
“Dengan kata lain Keputusan KPU Nomor 360 Tahun 2024 berlaku sah maka Prabowo adalah Presiden terpilih dan Gibran Wakil Presiden terpilih,” kata Ketua Umum Ormas Pendiri Partai Golkar itu.
Ali Wongso yang juga adalah mantan anggota Pansus DPR untuk UU Nomor 8 Tahun 2011 Tentang Perubahan Pertama UU Nomor 24 Tahun 2003 Tentang MK itu, lebih lanjut menguraikan keyakinannya didasari dua hal utama:
Pertama, bahwa Konstitusi UUD 1945 Pasal 24C ayat (1) mengatur jelas dan tegas wewenang MK adalah “memutus perselisihan hasil Pemilu”.
Konsisten dengan konstitusi itu, kata Ali, dalam UU Tentang MK pada Pasal 74 mengatur jelas mengenai gugatan terhadap Keputusan KPU tentang hasil Pilpres itu adalah “Permohonan hanya dapat diajukan terhadap penetapan hasil pemilihan umum yang dilakukan secara nasional oleh Komisi Pemilihan Umum.”
“Berdasarkan Konstitusi dan UU MK, bahwa wewenang MK itu sebatas terhadap penetapan hasil pemilihan umum, bukan diluar hasil pemilihan umum,” ujarnya.
Ali mengatakan berbasis pada kewenangan MK sesuai Konstitusi dan UU itu, dan mencermati proses persidangan MK tentang sengketa Pilpres 2024.
Secara obyektif semua pihak dapat memahami bahwa dalil-dalil yang diajukan oleh pemohon Paslon 01 Anies-Amin dan Paslon 03 Ganjar-Mahfud bukanlah tentang hasil Pilpres sebagaimana didalam Keputusan KPU Nomor 360 Tahun 2024 Tentang Hasil Pilpres 2024.
“Tetapi dalil-dalil yang diajukannya lebih pada tentang proses Pilpres 2024,” imbuhnya.
Ali menuturkan bahwa jika gugatan atau pengajuan permohonan terhadap hal-hal di luar hasil pilpres seperti hal-hal perselisihan tentang proses pilpres adalah sangat jelas bukan kewenangan MK sesuai Konstitusi dan UU MK.
Adapun perselisihan tentang proses pemilu termasuk proses pilpres adalah sesuai amanat UUD 1945 Pasal 22E ayat (6) mengamanatkan : “Ketentuan lebih lanjut tentang pemilihan umum diatur dengan undang-undang”.
“Undang-undang itu adalah UU Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilu mengatur bahwa Lembaga yang berwewenang memutus perselisihan tentang proses pemilu termasuk pilpres adalah Bawaslu yang didukung Gakumdu hingga PTUN,” jelas Ali.
Oleh karena itu, Ali menilai aneh dimana pihak para pemohon Paslon 01 Anies-Amin dan Paslon 03 Ganjar-Mahfud tidak menggugat sebagaimana dalil-dalilnya itu ke Bawaslu hingga PTUN dimasa Pilpres pra Keputusan KPU.
Tetapi, kata Ali, justru mereka menggugatnya ke MK yang semua tahu bahwa hal proses pilpres itu bukan kewenangan MK berdasarkan Konstitusi dan UU.
Prinsipnya sesuai UU Pemilu yang diamanatkan Pasal 22E ayat (6) UUD 1945, dugaan kecurangan apapun dan oleh siapapun dapat diproses oleh Bawaslu dengan dukungan Gakumdu sesuai proporsi permasalahannya dan jika diperlukan dapat dilanjut ke gugatan di PTUN.
“Jika memang terbukti ada pelanggaran berat maka Bawaslu dapat saja memutuskan agar KPU melaksanakan PSU (Pemungutan Suara Ulang) di lokasi–lokasi dimana terjadi kecurangan, seperti halnya yang terjadi di Kuala Lumpur Malaysia,” kata Ali.
Ali menyampaikan membawa masalah dugaan kecurangan ke MK apalagi diikuti dengan petitum pembatalan Keputusan KPU tentang hasil Pilpres dan meminta PSU di seluruh Indonesia serta diskualifikasi paslon 02 itu, jelas bukan saja naif dan gugatan yang salah alamat.
“Tetapi justru dapat diduga sepertinya mencoba membangun suatu “strategi pemenangan subyektifnya yang mengandung niat curang.” katanya.
Suasana sidang lanjutan sengketa hasil Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024 di Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta, Senin (1/4/2024). SOKSI yakin MK tidak akan melampaui kewenangan. Hal itu dikatakan Ketum SOKSI Ali Wongso jelang sidang putusan MK mengenai sengketa Pilpres 2024.
Ketum Soksi ini menuturkan bahwa jika gugatan atau pengajuan permohonan terhadap hal-hal di luar hasil pilpres seperti hal-hal perselisihan tentang proses pilpres adalah sangat jelas bukan kewenangan MK sesuai Konstitusi dan UU MK.
Adapun perselisihan tentang proses pemilu termasuk proses pilpres adalah sesuai amanat UUD 1945 Pasal 22E ayat (6) mengamanatkan : “Ketentuan lebih lanjut tentang pemilihan umum diatur dengan undang-undang”.
“Undang-undang itu adalah UU Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilu mengatur bahwa Lembaga yang berwewenang memutus perselisihan tentang proses pemilu termasuk pilpres adalah Bawaslu yang didukung Gakumdu hingga PTUN,” jelas Ali.
Oleh karena itu, Ali menilai aneh dimana pihak para pemohon Paslon 01 Anies-Amin dan Paslon 03 Ganjar-Mahfud tidak menggugat sebagaimana dalil-dalilnya itu ke Bawaslu hingga PTUN dimasa Pilpres pra Keputusan KPU.
Tetapi, kata Ali, justru mereka menggugatnya ke MK yang semua tahu bahwa hal proses pilpres itu bukan kewenangan MK berdasarkan Konstitusi dan UU.
Prinsipnya sesuai UU Pemilu yang diamanatkan Pasal 22E ayat (6) UUD 1945, dugaan kecurangan apapun dan oleh siapapun dapat diproses oleh Bawaslu dengan dukungan Gakumdu sesuai proporsi permasalahannya dan jika diperlukan dapat dilanjut ke gugatan di PTUN.
“Jika memang terbukti ada pelanggaran berat maka Bawaslu dapat saja memutuskan agar KPU melaksanakan PSU (Pemungutan Suara Ulang) di lokasi–lokasi dimana terjadi kecurangan, seperti halnya yang terjadi di Kuala Lumpur Malaysia,” kata Ali.
Politisi senior Partai Golkar ini menyampaikan membawa masalah dugaan kecurangan ke MK apalagi diikuti dengan petitum pembatalan Keputusan KPU tentang hasil Pilpres dan meminta PSU di seluruh Indonesia serta diskualifikasi paslon 02 itu, jelas bukan saja naif dan gugatan yang salah alamat.
“Tetapi justru dapat diduga sepertinya mencoba membangun suatu “strategi pemenangan subyektifnya yang mengandung niat curang.” katanya.
Demikian juga, lanjut Ali, mempermasalahkan KPU yang mengesahkan Gibran sebagai Cawapres tanpa terlebih dahulu merevisi PKPU, yang didalilkan “melanggar hukum dan etika” diikuti “petitum diskualifikasi”, adalah “sesat”.
Semua memahami KPU itu berdasarkan Pasal 22E ayat (5) UUD 1945 adalah penyelenggara pemilihan umum dengan melaksanakan UU Pemilu yang diamanatkan Pasal 22E ayat (6) UUD 1945.
Karena Putusan MK adalah final dan mengikat sesuai Pasal 24C ayat (1) UUD 1945, maka UU Pemilu serta merta berubah dan berlaku sesuai Putusan MK, maka KPU wajib melaksanakan UU Pemilu yang mutakhir dan berlaku pasca Putusan MK yang final dan mengikat itu.
“Adapun PKPU yang dibuat dengan otoritas KPU sendiri haruslah tunduk pada UU Pemilu,” imbuhnya.
Meskipun, kata Ali, idealnya memang KPU segera merevisi PKPU yang ada untuk menyesuaikan pada UU Pemilu pasca Putusan MK tetapi tanpa harus merevisi terlebih dahulu PKPU itu, bahwa KPU dapat dan wajib melaksanakan UU Pemilu sesuai Pasal 22 E ayat (6) UUD 1945 dan PKPU yang kedudukannya dibawah UU Pemilu otomatis menyesuaikan pada UU yang mendasarinya.
Analog dengan itu, lanjut Ali, UU Pemilu otomatis menyesuaikan pada Putusan MK tanpa harus DPR merubahnya lebih dulu dengan peersetujuan Presiden.
“Karena itu selain tidak ada masalah yang prinsipil disitu, adalah juga aneh mengapa paslon 01 dan paslon 03 tidak mempermasalahkan revisi PKPU itu pada saat pendaftaran Paslon tetapi malah menggugatnya pada pasca Pilpres di MK dan diikuti petitum pembatalan hasil pilpres serta diskualifikasi paslon 02 atau Cawapres Gibran?” tanya Ali.
Selain itu, Ali mengatakan seluruh keterangan para pihak termasuk para saksi dan ahli, empat Menteri, Bawaslu dan KPU atas segala pertanyaan yang ada termasuk pertanyaan para Hakim MK , tanpa bermaksud mengurangi nilai kebebasan berpendapat.
Soksi memandang tidak ada dari proses persidangan MK itu yang bisa dikonversi terhadap hasil Pilpres yang mengurangi perolehan suara Paslon 02 Prabowo-Gibran sebagai bagian dari putusan perselisihan hasil Pemilu yang dimaksudkan oleh Pasal 24 C Ayat (1) UUD 1945 dan Pasal 74 UU MK.
Kedua, bahwa delapan orang hakim majelis MK yang mulia masih layak dipercaya memiliki integritas, kepribadian tidak tercela, adil, negarawan, menguasai konstitusi dan ketatanegaraaan sebagaimana diamanatkan Pasal 24C ayat ( 5 ).
“Masing-masing kedelapan hakim MK yang mulia itu juga telah berpengalaman diberbagai bidang yang sudah teruji kematangannya sehingga masing-masing pribadi layak dipercaya kemampuannya membedakan antara mana yang benar-baik dan mungkin serta tidak mudah terprovokasi dengan berbagai bentuk termasuk bentuk “amicus curiae” dan unjuk rasa berbagai kelompok serta para “praktisi berbaju akademisi” kata Wakil Ketua Dewan Pakar Partai Golkar itu.
Ali pun menaruh harapan dan kepercayaan kepada delapan orang hakim majelis MK yang mulia niscaya akan menetapkan amar putusan yang adil, benar dan baik bagi kehidupan rakyat,bangsa dan negara sesuai kewenangan MK memutus perselisihan hasil Pemilu dalam hal ini Pilpres 2024 berdasarkan Konstitusi UUD 1945 dan UU yang berlaku.