Korannusantara.id, Medan – Berbagai persoalan yang muncul pada Pemilu 2024 ini mendorong anggota Komite I DPD RI dari daerah pemilihan (Dapil) Sumatera Utara KH. Muhammad Nuh, MSP, menggelar Focus Group Discussion (FGD) Medan, Sabtu (6/4/2024).

Dengan mengangkat tema “Mengkaji Model Pemilu yang Tepat untuk Terwujudnya Pelaksanaan Pemilu yang Efektif, Jujur, dan Adil”.
Focus Group Discussion ini menghadirkan sejumlah pakar dan juga tokoh masyarakat sebagai pembicara.
Seperti Dewan Fatwa PB Al-Washliyah Prof. Dr. Usman Jakfar, dosen Hukum Tata Negara Universitas Sumatera Utara (USU) Yusrin M. Nazief, SH, MH, dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Sumatera Utara (UISU) Irwansyah, SH, MH, dan dosen UISU yang juga aktif di Lentera Konstitusi dan Keadilan Taufik Nasution.
Dalam pengantarnya pada acara FGD tersebut, Kiai Nuh, sapaan akrab politikus yang juga pendidik dan tokoh agama ini, menjelaskan pelaksanaan pemilihan umum legislatif (Pileg) dan pemilihan umum presiden (Pilpres) sudah dua kali digelar secara serentak. Yaitu, pada Pemilu 2019 dan 2024.
“Keduanya memunculkan banyak persoalan,” kata pengasuh Pesantren Al Uswah dan Dewan Pertimbangan (Wantim) MUI Sumut ini.
Berkaca pada Pemilu 2019, misalnya sebanyak 894 petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) meninggal dunia dan 5.275 lainnya mengalami sakit.
Demikian pula pada Pemilu 2024 ini. Data dari Kementerian Kesehatan, 57 petugas KPPS meninggal dunia dan 8.381 yang sakit pada gelaran pesta demokrasi serentak tahun ini.
Dia juga menyoroti tugas penyelenggara pemilu mulai dari Komisi Pemilihan Umum (KPU), Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), hingga Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) ke depan seiring dengan pelaksanaan Pemilu 2024 serentak pada Februari lalu dan pemilihan kepala daerah (Pilkada) serentak pada November 2024 mendatang.
“Dengan pelaksanaan Pemilu serentak dan Pilkada serentak yang dilaksanakan dalam satu tahun (Februari 2024 dan November 2024), lalu di tahun-tahun berikutnya, apa kegiatan mereka?” katanya mempertanyakan.
Dia mempertanyakan demikian karena Pemilu digelar lima tahun sekali. Karena itulah, pihaknya menggelar FGD dengan mengundang para pakar dan tokoh masyarakat untuk mendapatkan masukan model pemilu yang tepat. Hal ini juga merujuk jasil evaluasi Komite I terkait Pemilu 2024.
“Memang perlu kajian mendalam untuk mendapatkan alternatif yang lebih tepat di masa yang akan datang,” ucap senator yang kembali terpilih pada Pemilu 2024 ini.
Dalam kesempatan itu, Yusrin M. Nazief mengingatkan bahwa pemilu serentak, termasuk sistem pemilu legislatif proporsional terbuka atau tertutup, tak diatur dalam konstitusi, melainkan hanya penafsiran dari Mahkamah Konstitusi (MK).
Sementara Irwansyah lebih cenderung mengusulkan agar pemilihan presiden dan wakil presiden dikembalikan ke MPR RI. Dia juga mengkritisi perilaku penyelenggara, peserta dan pemilih.
Demikian pula Taufik Nasution, mengkritisi parpol yang telah mengalami disorientasi sehingga tidak lagi bekerja berdasarkan ideologi, melainkan kepentingan semata.
Sedangkan Prof. Dr. Usman Jakfar mengingatkan baik buruknya pelaksanaan semua sistem pemilu terpulang dari bagaimana pihaknya penyelenggaranya.
Itu yang paling menentukan, katanya, dengan mengutip sebuah ungkapan bahwa sebaik-baik aturan, jika pelaksananya tak amanah, akan banyak masalah. Tapi aturan yang banyak kekurangan, namun pelaksananya amanah, akan tetap membawa kebaikan.
Pada Pemilu 2024 ini misalnya, dia menyoroti manuver dan cawe-cawe Presiden Joko Widodo sehingga asas-asas pemilu, yaitu langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil, tidak berjalan sebagaimana mestinya.
Terakhir, Joko Imawan menceritakan bagaimana masifnya politik uang. Dia mengungkap fenomena banyak caleg yang tidak turun dan hanya mengandalkan serangan fajar, yang angkanya mencapai Rp500 ribu per pemilih,” beber nya.