Korannusantara.id, Jakarta – Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPD) RI Daerah Pemilihan (Dapil) Sumatera Utara, KH. Muhammad Nuh, M.S.P merasa prihatin atas berbagai pelaksanaan Pemilu 2024 ini diwarnai banyak persoalan pada. Sehingga memunculkan penilaian serba negatif dari banyak kalangan.
Misalnya, dia menjelaskan, ada yang menilai Pemilu 2024 merupakan pemilu paling brutal sepanjang pelaksanaan hajatan demokrasi di Indonesia karena ditengarai kecurangan terjadi secara terstruktur, sistematis, dan masif (TSM) walaupun pemerintah masih terus berupaya berkelit. Ada juga yang menilai ini pemilu paling lucu.
“Tapi yang jelas saya kemarin berbincang dengan kawan-kawan di MPR dari beberapa partai, ini pemilu (dinilai) paling mahal. Karena ada semacam berebut konstituen ke bawah dan sebagainya. Jadi ini harus diperbaiki,” rilis yang diterima Korannusantara.id Senin, 18 Maret 2024.
Namun terkait untuk mengungkap berbagai dugaan kecurangan yang terjadi pada Pemilu 2024 ini, senator ini tampaknya pesimis itu bisa dilakukan.
Panitia Khusus atau Pansus Kecurangan Pemilu yang saat ini sedang disiapkan DPD RI untuk mengungkap dugaan pelanggaran dan kecurangan pada penyelenggaraan Pemilu 2024 misalnya, diragukan bisa bekerja optimal. Karena memang kewenangan entitas lembaga tinggi negara itu sangat terbatas.
“Dan DPD RI itu rekomendasi saja hasilnya,” ucap Wakil Ketua II BAP DPD RI ini.
Karena itu, lanjutnya yang diharapkan sebenarnya adalah DPR lewat hak angket. Karena DPR memiliki kewenangan yang jauh lebih besar sehingga memungkinkan untuk mengungkap berbagai dugaan yang selama ini berkembang agar menjadi terang.
“Sekarang ini kekuasaan ada di partai politik kalau bahasa kita, yaitu di DPR” ujar politikus yang juga pendidik dan tokoh agama ini menekankan.
Namun penggunaan Hak Angket DPR yang sudah menjadi wacana publik belakangan ini bahkan telah hampir sebulan setelah pertama kali dicetuskan capres nomor urut 3 Ganjar Pranowo pada 19 Februari 2024 lalu, sampai saat ini masih belum jelas.
Karena itu, melihat dan menyadari kondisi yang ada tersebut, pengasuh Pesantren Al Uswah, Langkat, Sumut ini pun tidak akan berupaya mendorong DPR untuk menggulirkan hak angket. Tapi lebih kepada mengajak semua anak bangsa terutama para elite politik dan pejabat pemerintahan untuk melakukan introspeksi.
“Kalau saya tidak spesifik (bicara) hak angket, tapi cobalah di bulan Ramadhan ini, di bulan puasa ini, kita merenung apa sebenarnya mau apa kita untuk negara yang kita cintai ini ke depan,” ucap Dewan Pertimbangan (Wantim) MUI Sumut ini.
Karena baginya, kondisi kebangsaan saat ini sangat memprihatinkan. Lembaga-lembaga negara terutama yang terkait dengan aspek penegakan hukum tidak berjalan sebagaimana diharapkan. Demikian pula yang terjadi di tengah masyarakat. Hal itulah yang membuat pelaksanaan pemilu memiliki banyak persoalan.
Untuk melihat mirisnya keadaan saat ini, menurutnya, ungkapan kekesalan penyair Taufik Ismail atas keadaan yang ada seperti ditulis dalam puisinya berjudul “Kami Muak dan Bosan” dan potret manusia Indonesia yang digambarkan wartawan cum sastrawan almarhum Mochtar Lubis layak untuk direnungkan.
“Sebenarnya itu perlu direnungi. Karena walau bagaimanapun, kita harus menatap ke depan. Saya pikir momentum Ramadhan, ketika semangat ibadah ini begitu menguat, ini jadi renungan lah bagi kita semua,” ajaknya.
“Mudah-mudahan ke depan tidak semakin bobrok negeri ini dari segi demokrasi, penegakan HAM, dan lain sebagainya,” demikian KH Muhammad Nuh.
Sebagaimana diketahui, puisi “Kami Muak dan Bosan” karya Taufik Ismail berisi antara lain tentang Indonesia yang disebutkan berubah dari negara yang pemimpinnya jujur-ikhlas dan hubungan kemanusiaanya dibangun atas kesantunan dan kesetiakawanan menjadi negeri koruptor, penipu, banyak omong, penuh fitnah, sandiwara hingga disebutkan tanpa malu mengaku berdemokrasi padahal dibenak mereka mutlak dominasi uang dan materi.
Sementara Manusia Indonesia adalah judul pidato kebudayaan Mochtar Lubis pada tahun 1977 yang kemudian diterbitkan menjadi buku yang mengungkap enam sifat manusia Indonesia. Yaitu, munafik, enggan dan segan bertanggung jawab atas perbuatannya, bersifat dan berperilaku feodal, percaya takhayul, artistik atau berbakat seni, dan lemah watak atau karakternya.