Korannusantara.id – Medan, Penggunaan aplikasi JKN Mobile sebagai bagian dari sistem layanan kesehatan digital di Indonesia memunculkan polemik di tengah masyarakat. Meski ditujukan untuk mempermudah akses layanan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), praktik di lapangan justru menyisakan kebingungan dan keluhan, khususnya bagi masyarakat yang tidak memiliki perangkat Android atau kurang paham teknologi.
Hal ini disoroti oleh Ibnu Hutabarat, aktivis sosial, budaya, dan anti-korupsi asal Medan. Dalam pernyataannya kepada Radikal melalui pesan WhatsApp, Ibnu mempertanyakan status penggunaan JKN Mobile: “Apakah wajib atau sunah?”
Barusan saya sedang berobat ke salah satu rumah sakit di Medan. Di samping saya ada dua orang yang mengalami kendala saat proses verifikasi pendaftaran. Yang satu adalah orang tua paruh baya yang tidak memiliki handphone Android, dan yang lainnya seorang ibu yang HP-nya tidak mendukung pengunduhan aplikasi JKN Mobile,” ujar Ibnu.
Keduanya, lanjut Ibnu, ditolak untuk mendapatkan layanan medis hanya karena tidak dapat mengakses aplikasi JKN Mobile. Padahal mereka telah meminta agar proses dilakukan secara manual karena keterbatasan masing-masing. Namun pihak rumah sakit tetap bersikukuh bahwa penggunaan aplikasi tersebut “wajib” sesuai instruksi dari BPJS Kesehatan.
Kita sebagai masyarakat bingung, bang. Di beberapa rumah sakit bisa proses manual, tapi rumah sakit tadi menolak. Katanya perintah dari BPJS harus pakai aplikasi. Jadi, digitalisasi JKN ini sebenarnya wajib atau sunah?” tambahnya dengan nada kesal.
Ibnu menilai bahwa penerapan digitalisasi dalam layanan kesehatan memang penting, namun perlu kajian ulang secara menyeluruh, khususnya terkait aksesibilitas masyarakat terhadap teknologi.
Pemerintah, DPR, dan BPJS harus mempertimbangkan kembali aturan ini. Tidak semua orang punya handphone Android. Banyak orang tua yang gaptek, dan ada juga masyarakat kecil yang bisa makan tiga kali sehari dan bayar BPJS saja sudah bersyukur, apalagi beli atau ganti HP baru demi aplikasi,” ujarnya.
Ibnu juga menyoroti perbedaan kebijakan antar rumah sakit. Ada yang membantu pasien dengan verifikasi manual, namun ada pula yang menolak mentah-mentah.
Ini harus jadi catatan penting. Jangan ada ketimpangan dalam pelayanan. Kalau aturan BPJS belum siap, jangan dipaksakan ke masyarakat secara kaku.”
Tokoh muda yang akrab disapa Bang Barat ini mengingatkan bahwa niat baik digitalisasi bisa menjadi kontraproduktif bila tidak disertai kesiapan infrastruktur, sosialisasi, serta empati terhadap kondisi masyarakat.