Korannusantara.id, Jakarta – Sebanyak 303 guru besar dan akademisi berharap Mahkamah Konstitusi (MK) tak terjebak pada urusan mengadili jumlah perolehan suara capres-cawapres dalam memutus sengketa Pilpres 2024.
“Besar sekali harapan kami bahwa hakim Mahkamah Konstitusi tidak hanya memberikan keadilan yang sifatnya prosedural formal saja, keadilan angka-angka, tidak, tapi juga memberikan keadilan substantif,” kata Guru Besar Universitas Indonesia (UI) Sulistyowati Irianto kepada wartawan di Gedung MK, Kamis (28/3/2024).
Adapun kedatangan Sulis, sapaan akrabnya, dalam rangka menyerahkan surat amicus curiae atau sahabat pengadilan yang terdiri dari 303 guru besar, akademisi, dan kalangan masyarakat sipil.
Sulis dan para guru besar lainnya mendesak delapan hakim konstitusi yang menghadiri sengketa ini supaya melihat perkara ini secara holistis.
Mereka juga menepis isu bahwa mereka berpihak. Selain mereka berstatus ASN, surat amicus curiae ini juga berpijak pada argumentasi akademis dan ilmu pengetahuan.
“Kami para dosen juga punya hak kodrati yaitu kebebasan akademik, seperti yang sekarang kami berdiri di sini, kami ada kami menggunakan kebebasan akademik kami untuk menyuarakan apa yang terjadi dalam masyarakat, kebenaran-kebenaran yang diuji melalui metode-metode ilmiah,” ungkap Sulis.
Selain itu, dalam Amicus Curiae yang didaftarkan tersebut, Akademisi tersebut juga menyampaikan naskah akademik untuk 8 Hakim Konstitusi kecuali Anwar Usman yang tidak ikut mengadili PHPU Pilpres.
“Naskah amicus ini adalah bagian penting dari partisipasi publik, dari kaum cendekiawan, para guru besar, para akademisi, termasuk juga civil society yang jumlahnya 303 itu, kami berdiskusi sangat panjang untuk memberikan pertimbangan-pertimbangan dengan basis ilmu pengetahuan,” ujar Akademisi UNJ, Ubedilah Badrun.
Dengan adanya Amicus Curiae, Ubedilah berharap ada pertemuan antara kebenaran pengetahuan dengan keadilan di Mahkamah Konstitusi. Dia berharap, delapan hakim MK mendengar substansi Amicus Curiae tersebut.
“Karena tentu kita tahu semua, bahwa delapan hakim itu sebetulnya tidak cukup untuk memutuskan perkara yang menentukan nasib 200 juta lebih penduduk Indonesia, 270 jutaan kurang lebih lah, itu menunjukkan bahwa tidak cukup mereka berdelapan mengambil keputusan,” kata dia.
Dalam surat amicus curiae yang dilayangkan ke MK itu, ada lima akademisi yang menjadi tim perumus.