Korannusantara.id – OPINI, Dalam buku The Wealth of Nations (1776), Adam Smith memperkenalkan konsep invisible hand, yakni gagasan bahwa individu yang mengejar kepentingan pribadi dalam pasar bebas secara tidak langsung akan menghasilkan manfaat bagi masyarakat luas.
Dalam pandangan Smith, peran negara sebaiknya dibatasi pada fungsi-fungsi dasar seperti pertahanan, keadilan, dan pembangunan infrastruktur, sedangkan aktivitas ekonomi utama sebaiknya diatur oleh mekanisme pasar.
Namun, konteks global kontemporer menunjukkan bahwa invisible hand tidak selalu bekerja secara optimal tanpa campur tangan negara. Hal ini terlihat dari kebijakan tarif yang diberlakukan oleh Presiden Donald Trump sejak kembali menjabat pada 2025.
Penerapan tarif tinggi terhadap impor, khususnya dari China, telah memicu ketegangan dagang internasional dan menggeser dinamika pasar global dari arah liberalisasi menuju proteksionisme.
Bagi Indonesia, yang selama dua dekade terakhir mengupayakan integrasi dalam pasar global melalui liberalisasi perdagangan dan investasi, langkah-langkah proteksionis ini memunculkan tantangan strategis.
Dampaknya tidak hanya pada perlambatan ekspor, tetapi juga pada stabilitas harga, nilai tukar, dan investasi asing langsung. Kondisi ini memperlihatkan bahwa prinsip pasar bebas yang dibayangkan Smith—di mana pasar secara otomatis menyesuaikan diri untuk mencapai efisiensi—tidak dapat berdiri sendiri dalam realitas geopolitik ekonomi modern.
Lebih jauh lagi, The Wealth of Nations sendiri sebenarnya tidak menolak peran negara sepenuhnya. Smith mengakui bahwa dalam beberapa kasus, negara perlu terlibat dalam regulasi, terutama ketika ada kekuatan pasar yang terlalu dominan atau ketika pasar gagal memenuhi kebutuhan publik.
Dalam konteks Indonesia, ketimpangan kekuatan ekonomi dan dominasi oleh oligarki menunjukkan bahwa invisible hand sering kali tidak bergerak secara adil.
Oleh karena itu, dalam menghadapi tekanan eksternal seperti tarif Trump dan dinamika geopolitik global lainnya, Indonesia perlu memainkan visible hand yang cerdas. Negara harus memastikan regulasi yang adil, mendorong kemandirian industri nasional, serta melindungi pelaku usaha kecil dan menengah agar tidak terpinggirkan dalam kompetisi global yang tidak seimbang.
Prinsip invisible hand dari Adam Smith tetap relevan sebagai kerangka normatif bagi efisiensi pasar. Namun, dalam praktiknya, terutama dalam konteks ekonomi politik Indonesia yang kompleks dan ketergantungan pada pasar global yang tidak stabil, peran negara menjadi tak terhindarkan. Seperti yang tersirat dalam The Wealth of Nations, mekanisme pasar hanya akan menghasilkan keadilan sosial apabila negara hadir sebagai pengarah dan penjaga keseimbangan.