Korannusantara.id-Opini, Kekuasaan Presiden terpilih Prabowo Subianto belum genap terbentuk secara formal, namun riak-riak politik telah menantang stabilitasnya. Isu keterlibatan salah satu orang terdekat Prabowo, Sufmi Dasco Ahmad, dalam bisnis judi online (judol) menjadi sorotan tajam publik. Dasco buan figur biasa. Ia adalah Wakil Ketua Umum Partai Gerindra sekaligus orang yang disebut-sebut sebagai “kaki kursi” kekuasaan Prabowo.
Isu ini mencuat di tengah masa transisi dari pemerintahan Presiden Joko Widodo menuju era baru Prabowo. Masa peralihan ini sejatinya belum benar-benar dituntaskan secara politis maupun struktural. Segudang warisan persoalan belum ditangani tuntas, mulai dari ketimpangan ekonomi, krisis keadilan sosial, praktik hukum yang timpang, hingga berbagai proyek nasional bermasalah yang memerlukan audit menyeluruh.
Dalam politik yang belum mapan, isu besar seperti ini jarang berdiri sendiri. Ia bisa mencerminkan dua hal sekaligus, potensi kebocoran integritas dalam lingkar kekuasaan, atau sebaliknya, strategi “smoke screen politics” yakni pengalihan perhatian publik dari isu yang lebih besar dan lebih berbahaya secara politik.
Fenomena ini pernah menjadi topik dalam diskusi Indonesia Democracy Monitor (InDemo) yang pernah saya ikuti, menyoroti bagaimana transisi kekuasaan di negara demokrasi cenderung memunculkan perebutan pengaruh baru. Salah satu catatan penting dalam diskusi itu adalah bawa “Dalam sistem demokrasi yang belum mapan, pergantian kekuasaan tidak hanya soal serah terima jabatan, tetapi menjadi ajang perebutan ulang pengaruh di dalam lingkaran kekuasaan baru.”
Maka tidak tertutup kemungkinan, isu judol yang menyeret nama Dasco bukan murni soal hukum, melainkan manuver politik dari internal kekuasaan sendiri. Bisa jadi ada pertarungan di antara para elit yang berusaha memperkuat atau bahkan menjatuhkan salah satu pilar dalam barisan utama Presiden terpilih.
Praktek semacam ini juga pernah terjadi di negara demokrasi besar seperti Amerika Serikat. Dalam era Donald Trump, misalnya, sejumlah penashat dan tokoh lingkar dalam diguncang skandal yang dihembuskan oleh kekuatan politik lawan maupun dari internal sendiri. Tujuannya jelas mempreteli kekuasaan dari sisi dalam tanpa harus menyerang presidennya secara langsung.
Pertanyaannya, apakah Prabowo akan tinggal diam melihat dinamika semacam ini? Ataukah ia akan tampil sebagai pemimpin yang menghadapi badai dengan kepala tegak?
Masih dari catatan InDemo menjelaskab bahwa “Demokrasi akan rapuh ketika hukum dijadikan alat barter politik. Ketika kasus-kasus besar ditutupi dengan sensasi yang terfabrikasi, maka yang dirusak bukan hanya sistem pemerintahan, tapi juga nalar publik.”
Presiden Prabowo harus segera memberi sinyal bahwa ia tidak akan mentolerir pembusukan sistem dari dalam. Ini bukan sekadar soal menindak atau membela Sufmi Dasco Ahmad. Ini adalah ujian moral awal bagi kepemimpinan Prabowo untuk membuktikan bahwa kekuasaannya tidak akan dikendalikan oleh mereka yang menyembunyikan ambisi pribadi di balik loyalitas semu.
Bangsa ini sudah terlalu lama hidup dalam bayang-bayang manuver elite yang menjadikan rakyat sekadar penonton dalam drama kekuasaan. Demokrasi tidak akan tumbuh dari permainan sandiwara, tapi dari keberanian untuk bersikap terbuka dan bertanggung jawab.
Prabowo diyakini penilis sebgai “The Last Emperor” menuju perubahan yang konkrit. Prabowo jika sungguh ingin mencatatkan sejarah sebagai pemimpin perubahan, maka ia harus mulai dari hal paling sederhana namun paling mendasar, membersihkan lingkar kekuasaannya dari persekongkolan dan kepentingan gelap.
Oleh: Agusto Sulistio – Pegiat Sosial Media, Pendiri The Activist Cyber, Aktif di Indonesia Democracy Monitor (InDemo).
Kalibata, Jakarta Selatan, Selasa 8 April 2025