Nusantara,id – Surabaya, Malang nasib seorang perempuan berinisial SD (28) usai menjadi korban penganiayaan tragis di Surabaya. Ia menjadi korban seorang pemilik spa yang diduga melakukan penganiayaan, pelecehan dan ancaman saat datang dari Jakarta dengan harapan memulai karir baru sebagai terapis di Surabaya. Namun, laporan di kepolisian sudah lebih dari empat bulan dan belum ada kejelasan.
Penasihat Hukum Pelapor, Syafaruddin Situmeang mengungkapkan, korban diperlakukan dengan sangat tidak manusiawi oleh terlapor yang dikenal sebagai Ko Abi. Seorang pemilik SPA hiburan malam di Surabaya. Laporan ini sudah diterima Polrestabes Surabaya dengan nomor LP/B/1079/XI/2024/SPKT/POLRESTABES SURABAYA/POLDA JAWA TIMUR pada 5 November 2024.
“Peristiwa ini bermula ketika korban datang dari Jakarta pada 31 Oktober 2024 untuk bekerja dengan terlapor. Anehnya, terlapor meminta korban datang ke rumah pribadinya, bukan ke mess pekerja. Setelah terlapor mengirimkan alamat rumahnya, korban berangkat dan tiba sekitar pukul 8 malam,” seru Syafaruddin, Senin (3/3/2025) malam.
Lebih lanjut, Syafaruddin menyampaikan, saat tiba, korban mengaku langsung diperlakukan tidak sopan. Bahkan diraba oleh terlapor yang saat itu sedang mencoba memaksanya untuk minum alkohol.
“Awalnya korban menolak, namun setelah ditawari tiga kali, korban akhirnya mengalah untuk menghargai terlapor sebagai atasan. Tidak lama setelahnya, korban diajak menonton biliar di ruang tengah, berujung pada kondisi korban tak sadarkan diri hingga pukul 2 pagi pada tanggal 1 November 2024. Ketika sadar, korban mendapati dirinya berada di dalam kamar dengan kondisi tubuh babak belur dan mata penuh darah,” imbuh Syafaruddin.
Meskipun bingung dan kesakitan, korban berusaha pulang ke Jakarta dengan perasaan cemas dan terluka. Butuh lima hari untuk akhirnya melapor ke polisi dan mendapatkan visum dari Rumah Sakit Primasatya Husada Citra Surabaya. Setelah laporan diajukan, proses hukum yang diharapkan berjalan dengan cepat malah terkendala berbagai masalah.
“Padahal laporan sudah lebih empat bulan, belum ada perkembangan. Justru terlapor berusaha mengancam korban untuk mencabut laporan dengan cara intimidasi. Hal ini dibuktikan melalui pesan WhatsApp pada 20 November 2024, dua minggu setelah laporan diterima Polrestabes” tambahnya.
Namun, lebih mengejutkan lagi, proses penyelidikan menghadapi kesulitan besar. Salah satunya adalah keterangan dari pihak penyidik mengungkapkan rekaman CCTV yang dapat memperkuat kasus tersebut hilang.
“Penyidik menyatakan data CCTV pada tanggal 6 November 2024 terhapus tanpa penjelasan jelas. Kejanggalan-kejanggalan ini semakin membuat proses hukum terasa berat bagi korban, yang harus bolak-balik Surabaya-Jakarta,” ungkap Syafaruddin.
Kekecewaan korban terhadap lambannya penanganan kasus ini semakin mendalam. Pelapor merasa dirugikan, baik secara materiil maupun immateril, akibat ketidaktransparanan proses hukum yang ada.
“Kami berharap Polrestabes Surabaya transparan dalam melakukan proses hukum yg ada, sehingga tercipta nya penegakan hukum yang adil sebagai mana simbol polri presisi dalam bertugas. Dan kami juga berharap Polrestabes Surabaya Memberikan rasa keadilan kepada semua pihak yang terlibat terutama kepada Korban Selaku Perempuan,” tandasnya.