KoranNusantara.id- Tanggal 12 Februari 2025 menjadi momentum bersejarah bagi masyarakat Aceh. Aceh menjadi provinsi pertama yang melantik gubernur dan wakil gubernur terpilih hasil Pilkada serentak 2024.
Pasangan Muzakkir Manaf dan Fadhlullah kini memegang kendali kepemimpinan daerah yang memiliki status otonomi khusus ini selama lima tahun ke depan.
Namun, tantangan besar menanti.

Pemerintah baru harus mampu menjawab berbagai persoalan mendasar, mulai dari kemiskinan yang terus mengakar, kualitas pendidikan yang tertinggal, hingga pengelolaan ekonomi berbasis syariah dan optimalisasi sumber daya alam.
Berikut adalah beberapa hal yang menurut penulis perlu menjadi fokus pemerintah Aceh ke depan.
Mengentaskan Kemiskinan Serta Meningkatkan Kualitas Pendidikan
Aceh terus masuk dalam daftar provinsi dengan tingkat kemiskinan tertinggi di Indonesia, meskipun menerima dana otonomi khusus yang besar.
Ironisnya, kondisi ini sering bertolak belakang dengan realitas di lapangan. Sejauh pengamatan penulis, jika dibandingkan dengan daerah metropolitan di Pulau Jawa, jumlah gelandangan dan pengemis di Aceh relatif lebih sedikit.
Namun indikator kemiskinan yang digunakan dalam survei nasional, seperti jenis material rumah dan keberadaan kamar mandi dalam sering kali tidak mencerminkan kesejahteraan masyarakat setempat secara akurat.
Banyak rumah di Aceh masih berbentuk rumah panggung atau berbahan kayu, bukan karena kemiskinan, tetapi karena budaya dan faktor geografis.
Banyak keluarga yang tinggal di rumah sederhana, namun memiliki aset bernilai tinggi seperti kebun luas, boat pribadi, serta sawah yang produktif.
Fenomena ini menunjukkan bahwa pendekatan penilaian kemiskinan perlu ditinjau kembali agar lebih sesuai dengan karakteristik daerah. Namun ini tidak bisa menjadi pembenaran.
Pemerintahan Aceh yang baru harus mampu meningkatkan kualitas hidup rakyat Aceh. Karena dalam urusan kualitas hidup, kita tidak perlu membandingkan dengan daerah lain. Aceh punya standar sendiri dalam urusan ini.
Selain itu, realisasi butir-butir MoU Helsinki juga harus dipercepat guna memastikan kesejahteraan tidak hanya dinikmati oleh elite politik, tetapi juga oleh eks kombatan, janda-janda korban konflik, anak yatim, dan masyarakat terdampak tsunami.
Di sektor pendidikan, Aceh pada akhir tahun 2024 menunjukkan bahwa kualitas pendidikan di Aceh masih mengalami krisis. Hampir 70 persen siswa Indonesia, termasuk Aceh, belum mencapai standar kompetensi literasi yang diharapkan.
Faktor penyebabnya antara lain keterbatasan sarana dan prasarana, rendahnya layanan pendidikan, serta lemahnya sistem pengelolaan data pendidikan.
Pemerintah perlu menaruh perhatian lebih pada peningkatan fasilitas pendidikan, memperkuat tenaga pendidik, dan memastikan implementasi kebijakan yang benar-benar relevan dengan kebutuhan daerah.
Selain itu, pendidikan karakter harus menjadi prioritas sejak dini. Kekayaan budaya dan nilai-nilai keislaman yang Aceh miliki dapat dijadikan fondasi dalam membangun generasi muda yang berakhlak, terampil, dan berdaya saing menuju visi Indonesia Emas 2045.
Reformasi Perbankan Syariah dan Membangun Industri yang Berkelanjutan
Sebagai satu-satunya provinsi di Indonesia yang menerapkan sistem perbankan berbasis syariah secara penuh, Aceh menghadapi tantangan besar dalam membangun sistem keuangan yang kompetitif dan efisien.
Sayangnya, masih banyak masyarakat yang mengeluhkan buruknya pelayanan bank syariah, mulai dari sistem yang sering mengalami error hingga keterbatasan produk keuangan yang inovatif.
Seturut hemat penulis, tentu kepercayaan masyarakat terhadap bank syariah harus diperkuat dengan peningkatan layanan, inovasi produk keuangan yang kompetitif, serta transparansi dalam pengelolaan dana.
Oleh sebab itu, jika permasalahan ini tidak segera diatasi, bukan tidak mungkin muncul tuntutan agar bank konvensional kembali beroperasi di Aceh.
Selain itu, Aceh memiliki sumber daya alam yang melimpah, mulai dari minyak dan gas hingga hasil bumi yang potensial dikembangkan.
Namun, pengelolaan industri di Aceh masih jauh dari optimal. Kawasan Industri Aceh (KIA) seharusnya bisa menjadi motor penggerak ekonomi, seperti halnya Kawasan Industri Medan (KIM) yang telah berkembang pesat.
Sayangnya, banyak proyek industri di Aceh hanya berakhir sebagai seremoni tanpa keberlanjutan yang jelas. Pemerintah baru tentu harus memastikan pengelolaan industri dilakukan secara transparan, melibatkan SDM lokal, dan mengedepankan prinsip keberlanjutan.
Apabila sumber daya alam dikelola dengan baik, maka Aceh tidak perlu terus bergantung pada dana otonomi khusus dari pemerintah pusat. Hingga akhirnya akan membuat Aceh jadi lebih mandiri secara ekonomi.
Aceh adalah daerah istimewa, bukan milik pribadi, kelompok, atau golongan tertentu. Kekayaan alam dan sejarah perjuangan yang dimiliki Aceh harus menjadi aset untuk kesejahteraan seluruh rakyatnya, bukan alat untuk memperkaya segelintir elite politik.
Tantangan bagi pemerintahan baru sangat besar. Dengan kepemimpinan yang kuat, transparan, dan berpihak pada rakyat, Aceh dapat keluar dari stigma kemiskinan dan menjadi daerah yang mandiri serta berdaulat secara ekonomi.
Inilah saatnya bagi Aceh untuk bangkit dan menata masa depan yang lebih baik.(*)
Oleh: Khairul Fahmi, S.TP. (Penulis aktif, blogger, Komunitas Sahabat Rimba Aceh)
(RED)