Korannusantara.id – lembaga Think tank yang didirikan oleh lima peneliti muda lulusan kampus luar dan dalam negeri yang berfokus pada tata kelola kebijakan pembangunan bernama Center for Indonesian Governance and Development Policy (CIGDEP), mengadakan diskusi publik bertajuk “Sudahkah penetapan Proyek Strategis Nasional (PSN) menetapkan Tata Kelola yang baik?”, sekaligus launching lembaga yang dihadiri oleh narasumber papan atas seperti eks Menteri PPN/Kepala Bappenas 2014-2015 Andrinof Chaniago serta Peneliti BRIN Yanu Endar Prasetyo
“Kami sebagai peneliti muda yang berfokus pada isu-isu tata kelola pembangunan dengan berbagai latar belakang akademis dan profesional mendirikan CIGDEP sebagai upaya kontribusi kami dalam hal menjadi mitra kritis dan strategis terhadap tata kelola pemerintahan dan kebijakan pembangunan eksisting.” ujar Direktur Eksekutif CIGDEP, Cusdiawan atau akrab disapa dengan Kang Cus.
Kang Cus juga menambahkan terkait tema tata kelola PSN yang dipilih dalam launching CIGDEP ini dilandasi dari berbagai permasalahn dan kontroversi terkini dari PSN-PSN yang mulai menyeruak satu per satu dan menjadi sorotan publik dan media.
“Sebagaimana kita ketahui bersama, isu PSN yang digalakkan di zaman Presiden Jokowi dan dianggap sebagai salah satu program unggulan dalam pembangunan infrastruktur (keras), hari ini banyak menuai argument kontra dari masyarakat dikarenakan banyaknya fakta-fakta di areal PSN yang mengejutkan publik, yang terbaru misalnya pada area PSN PIK 2 di Kabupaten Tangerang. Oleh karena itu, kami di CIGDEP merasa penting untuk menghadirkan diskursus ini dalam ruang publik utamanya dari sisi tata kelola kebijakan penentuan PSN itu sendiri yang terkesan serampangan dan menegasikan prinsip Good Governance”.tambah Kang Cus.
Dalam diskusi yang diadakan oleh CIGDEP tersebut, Andrinof Chaniago selaku Dosen FISIP UI dan juga mantan Menteri PPN/Kepala Bappenas menyoroti bahwa selama ini banyak terjadi hal janggal dalam prioritas penentuan PSN.
“Kasus demi kasus yang terjadi dalam wilayah PSN seperti sekarang ini musti ditarik pada tata cara penentuan proyek mana yang layak dikategorikan sebagai SPN. Sebagai contoh, beberapa proyek pembangunan perumahan rakyat yang langsung berkaitan dengan hajat hidup masyarakat banyak yang mengalami kesulitan dalam akses hunian tinggal jarang sekali mendapatkan status sebagai PSN sehingga pembangunannya kurang diprioritaskan, sementara wilayah yang sudah eksisting dan peruntukkannya full untuk komersil seperti BSD dan Lido malah diberikan status PSN. Hal tersebut juga senada dengan kasus PIK 2 yang saat ini sedang ramai”. Ujar Andrinof
Di lain sisi, Peneliti Kependudukan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Yanu Endar Prasetyo mengumpulkan data berbasis open-source mengenai seluruh PSN yang telah ditetapkan oleh Pemerintah Indonesia melalui Kementerian teknis terkait. Ia, menyoroti dari sekian banyak PSN tersebut proporsi antara pembangunan untuk kepentingan pelaku bisnis dan kepentingan publik jauh tidak berimbang.
“PSN ini sejatinya merupakan transformasi dari program sejenis bernama MP3EI pada era kepemimpinan Presiden SBY, namun karena rulling party berganti maka nomenklaturnya pun berganti dengan penyesuaian di sana sini. Yang layak menjadi sorotan dari ratusan jumlah proyek di NKRI yang statusnya telah dirubah menjadi PSN, apa dampak ekonomi dan sosial yang dapat kita rasakan selama 10 tahun lebih sejak PSN pertama kali diterapkan pada 2014? Atau justru PSN-PSN dengan gelontoran APBN sebanyak puluhan bahkan ratusan triliun inilah yang menjadi penyebab terjadinya stagnansi ekonomi dan kondisi ekonomi sulit yang saat ini kita rasakan?”, Ujar Yanu.
Lebih lanjut, Yanu menambahkan bahwa dalam PSN eksisting yang ada kepentingan dan kebutuhan masyarakat sekitar yang tanahnya terdampak tidak menjadi prioritas utama dalam pembangunan PSN, lebih jauh dampak lingkungan pun seakan hanya menjadi pelengkap dari sisi perizinan dan formalitas belaka.
“Dalam kasus IKN misalnya, salah satu suku aslinya yakni Suku Balik menerima bahwa daerahnya dijadikan objek pembangunan PSN dan Ibu Kota baru Republik, mereka hanya meminta untuk dibangunkan areal situs kebudayaan di area IKN untuk menghormati para leluhur dan sebagai lokasi memperingati tradisi mereka namun kenyataannya sampai sekarang tidak kunjung digubris, justru sudut-sudut IKN ditembok tinggi sampai-sampai suku Balik ini yang merupakan penduduk asli tidak bisa mengakses areal PSN IKN lagi. Hal ini sungguh ironi, dan mengingat ini baru satu contoh saja dan yang paling banyak mendapat sorotan masyarakat dan media, entah bagaimana kondisi suku-suku asli lain yang terdampak pembangunan PSN di daerah-daerah yang tidak terlalu tersorot lainnya.” Tutup Yanu.
Selanjutnya, Diskusi yang diselenggarakan di Diskusi Kopi Ruang Berbagi, Kawi, Jakarta Selatan itu ditutup dengan rekomendasi CIGDEP atas persoalan tata kelola PSN yang disampaikan oleh Kang Cus selaku Direktur Eksekutif, adapun rekomendasinya adalah sebagai berikut:
1. Pemerintah perlu mengkaji ulang bagaimana relasi ideal antara negara dan swasta dalam perumusan kebijakan pembangunan. Pembangunan yang semakin memarjinalisasikan masyarakat sekitar, dan mengokohkan ketimpangan antar kelas sosial, bisa menjadi “bom waktu”;
2. Perhatian pada aspek sosial, budaya, ekologis dan hak asasi manusia dalam pembangunan yang dijalankan bersifat esensial, dan tidak hanya terfokus pada ekonomi. Adanya keseimbangan antar berbagai aspek atau dimensi akan membuat pembangunan lebih berkualitas;
3. Pembangunan harus memprioritaskan keseimbangan antara pengejaran aspek kuantitatif (pertumbuhan ekonomi) dengan aspek kualitatif (kualitas manusia, kohesi sosial dan well-being);
4. Masifnya pembangunan infrastuktur keras harus dibarengi dengan perbaikan pada infrastuktur basah dan lunak. Adanya kesimbangan dan perhatian yang memadai terhadap 3 hal tersebut lebih memungkinkan untuk terwujudnya kesejahteraan, memangkas ketimpangan dan atau kesenjangan antar kelas-sosial, wilayah, desa-kota dan seterusnya;
5. Meningkatkan program (baik secara kuantitatif maupun kualitatif) jaring pengaman sosial; bantuan sosial yang lebih tepat sasaran (uang tunai, sembako dll), program berbasis keadilan gender (membuat ibu-ibu dari golongan miskin yang tengah mengandung agar bisa hidup lebih sehat dan bergizi, mengatasi gizi buruk secara serius), serta pelatihan kerja yang lebih sistematis dan terukur.
6. Permasalahan fiskal sebagai biaya pembangunan harusnya bisa diatasi, salah satunya dengan mengkaji ulang pembagian hasil tata kelola sumber daya alam, misalnya royalti batu bara yang selama ini lebih banyak menguntungkan korporat perlu dikoreksi. Selain itu, ketegasan pemerintah terhadap pengusaha yang memperoleh kekayaan dari bumi Indonesia namun menikmati dan atau menyimpan aset di luar negeri pun diperlukan, seperti memberikan penalti yang berat, dan bahkan perlu ada sanksi lain yang tegas termasuk berkaitan dengan operasional korporat bersangkutan jika terbukti berlaku tidak fair.
Rekomendasi diharapkan dapat diakomodir dan ditindaklanjuti oleh pemerintah untuk dapat menjadi alternatif penyelesaian tata kelola PSN agar tidak berlarut-larut dan justru merugikan pembangunan negara.” tutup Kang Cus. Jakarta, 11 Februari 2025.