Korannusantara.id-NTB, Opini, Dalam melaksanakan fungsi pemerintahan yang baik, maka pemerintah dituntut untuk melaksanakan kebijakan publik yang setidaknya harus memenuhi tiga k (3) syarat yaitu bersifat cerdas, bijaksana dan memberi harapan.
Riant Nugroho menjelaskan kebijakan publik harus bersifat cerdas adalah kebijakan publik yang langung mengena terhadap inti dari permasalahan di masyarakat.
Adapaun bersifat bijaksana, artinya kebijakan tersebut harus bersifat adil dan tidak memikili derita ini kebijakan tersebut memiliki sifat memberi harapan bagi masyarakat untuk menjadi lebih baik.
Selama bulan januari-februari 2025, daerah Nusa Tenggara Barat (NTB) mengalami puncak musim hujan yang tinggi dan disertai dengan angin kencang. Bersamaan dengan ini, banjir terjadi dimana-mana dengan potensi sedang dan besar.
Yang mendapat banyak perhatian, misalnya banjir di Kecamatan Wera dan Ambalawi Kabupaten Bima mengakibatkan korban banjir, kerusakan infrastruktur dan kerugian materi yang cukup besar.
Hal ini seakan punya pertalian, bahwa segera setelah itu di daerah lain juga mengikuti, kita bisa sebut di Pulau Sumbawa semua terdampak, misalnya Kota Bima, Kab. Dompu, Kab. Sumbawa.
Bergeser ke pulau Lombok, dengan intentitas hujan selama beberapa hari, yang banyak terjadi pada beberapa kecamatan di Kab. Lombok Barat.
Harmonisasi Kebijakan Antar Sektor tidak Linear
Potret masalah di atas mengambarkan terminologi kebijakan publik yang seharusnya dapat menjamin pelayanan yang baik ternyata berbanding terbalik oleh fakta yang terjadi. Mengutip Antaranews.com, Wahana lingkugan Hidup (Walhi NTB), secara umum bencana alam (banjir) terjadi akibat kerusakan lingkungan dan kurangnya upaya serius dari pemerintah daerah.
Lebih lanjut, masalah banjir bukanlah hal baru, mari sejenak kita review data-data yang telah dirilis oleh Dinas Lingkungan Hidup (DLHK) Provinsi NTB dan Walhi NTB.
Sampai pada Agustus 2023 terdapat 60% atau sekitar 1.071.722 hektar kerusakan hutan. Sebagai tambahan, kerusakan hutan juga terjadi pada sektor pariwisata yaitu di kawasan pesisir salah satunya di KEK Mandalika seluas 1.250 hektar serta ada juga rencana pembangunan Global Hub Bandar Kayangan di Kabupaten Lombok Utara seluas 7.030 hektare juga akan mengancam terjadinya kerusakan ekologi pesisir Lombok Utara dan rencana pembangunan kereta gantung di kawasan Hutan Rinjani seluas 500 hektar.
Hal di atas menunjukan tingkat keparahan yang serius, program NTB hijau dan turunanya belum maksimal diaplikasikan di lapangan. Penegakan hukum dalam membatasi produktifitas pertanian yang menaysar area terlarang dan daerah konserfasi masih lemah dan reaktif yang mengakibatkan hukuman bagi oknum-oknum yang mengarap secara illegal belum memberikan efek jera.
Pada sisi yang lain, di pulau Sumbawa sendiri Hak Guna Usaha (HGU) yang diberikan kepada beberapa korporasi mendapat angin segar, sebut saja PT. AMMAN Mineral di Sumbawa Barat diberikan luas garapan lebih kurang 7000 hektar, PT. STM di Kabupaten Dompu mendapat Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH) sebanyak 19.260 hektar. Sedangkan di pulau Lombok pertambangan PT. AMG di Lombok Timur seluas 1.348 hektar. Beralih pada permasalahan izin tambak udang, mengutip (https://kpk.go.id), Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melalui Direktorat Koordinasi dan Supervisi (Korsup) Wilayah V mengidentifikasi kebocoran di sektor perizinan tambak udang di Nusa Tenggara Barat (NTB) akibat rendahnya sinkronisasi data antar Instansi terkait.
Hanya sekitar 10 persen tambak di NTB yang tercatat memiliki izin persetujuan kesesuaian pemanfaatan ruang laut (PKKPR Laut) dan izin lingkungan.
Mengembalikan Fungsi Pengawasan PEMDA secara Profesional
Sampai saat ini fungsi pengawasan pemerintah Provinsi NTB dalam mencegah laju ekspansi lahan garapan ke area hutan masih lemah dan minim dilaksanakan baik secara prefentif maupun kuratif.
Pemerintah daerah harus berani mengambil sikap dalam menentukan nasib daerah yang lebih baik yaitu melalui kebijakan publik yang berorientasi pada membangun rasa keadilan melalui pemanfaatan sumber daya yang tepat sasaran dan tepat guna, mengatasi masalah ketimpangan sosial dan mengatasi kemiskinan serta meningkatkan gini rasio.
Penambahan lahan garapan hutan yang berpotensi merusak lingkungan adalah sangat nyata, misalnya di pulau Sumbawa khususnya Kabupaten Dompu, Bima dan Kota Bima.
Poin yang penulis highlight ialah, jika daerah mampu mandiri dalam menyediakan gudang pembelian jagung , maka daerah lebih bebas dalam mencar iklan untuk mengekspor komoditas jagung beberapa negara baik skala Asia, Eropa dan Amerika. Jika daerah mampu membuat kebijakan semacam itu, niscaya kestabilan harga tidak akan merugikan petani serta dapat memacu pendapatan daerah.
Sebaiknya, pemerintah tida jik langsung reaktif dengan menutup misalnya areal garapan petani secara include dan latah. Dalam rentang waktu melaksanakan proses refitalisasi area hulu, pemerintah juga terbuka mengambil kebijakan untuk mengoperasionalkan ara hilir dengan menerapkan pola agrosilviposturat yang meliputi pertanian berkelanjutan, pelembagaan petani dan peningkatan pemahaman tekhnologi pertanian berkelanjutan. Dengan cara ini, pemerintah harus menghidupkan industrialisasi penanganan pasca panen terhadap tanaman yang diproduksi oleh petani.
Berkaitan dengan permasalahan izin tambak udang, pemerintah tidak hanya melakukan langkah sinkronisasi data antar instansi agar bisa mencegah terjadinya korupsi di sektor perizinan dan pengawasan. Pemerintah harus bisa menciptakan tata kelola tambak udang yang transparan dan dapat menjamin keberlangsungan hajat hidup orang banyak.
Oleh: Wildanul Ahyar
Bidang Lingkungan Hidup dan Mitigasi Bencana
HMI Badko Bali Nusra