KoranNusantara.id- Tulisan ini menanggapi Artikel H. Damai Hari Lubis, SH., MH yang berjudul “Negara Darurat Maling Sehingga Ajak Pelaku Berdamai”.
Pengantar
Pertama-tama penulis apresiasi terhadap narasi hukum yang disampaikan oleh adinda Damai Hari Lubis/ DHL yang menanggapi wacana hukum dari Yusril Ihza Mahendra, Menteri Koordinator Bidang Hukum dan HAM (2024-2029) , DHL , yang pernah menjadi sekretaris di DK. DPP. KAI (Dewan Kehormatan DPP Kongres Advokat Indonesia), pada waktu penanggap menjabat Ketua DK. di DPP. KAI (saat alm. Presiden DPP. KAI. Indra Sahnun Lubis, SH. Masih hidup ), selama lebih kurang 10 tahun. Dan DHL pernah menjabat Sekretaris Jendral (Sekjen TPUA) serta saat ini selaku Koordinator seluruh Advokat TPUA.
Untuk itu sudi kiranya menerima masukan dari penanggap, selaku seorang senioren aktivis hukum muslim.
Dan Yusril idealnya menerima masukan dari kami selaku representatif penegak hukum, tentang idenya selaku seorang menteri yang substansial, “Yusril mewacanakan adanya faktor pemaaf atau impunitas terhadap koruptor dengan cara mengembalikan hasil korupsinya kepada negara”.
Pendahuluan
Kilas balik artikel hukum DHL
Dalam sebuah artikel yang pernah penulis penanggap baca, DHL yang produktif menulis seputaran eksistensi faktor behavior atau pola tindakan daripara aparatur penegak hukum (law enforcement) yang timpang di tanah air, sejak periode 2014 pertama Jokowi berkuasa, salah satunya materi narasi hukum oleh DHL dituangkan dalam sebuah artikel berbasis hukum, berupa kritik keras berbasis asas legalitas berikut fakta dan data empirik, selain isi penolakan terhadap faktor restoratif justice kepada pelaku kejahatan politik saat Jokowi dan rezimnya berkuasa, selebihnya DHL berargumentasi terkait alasan moralitas, dikarenakan akibat politik kekuasaan yang dilakukan oleh rezim (Jokowi) terhadap para korbannya yang mengalami, yang nota bene secara hukum, para korbannya adalah seluruh bangsa ini terutama para korban langsung atau pihak keluarga korban, sehingga jauh dari rasa keadilan.
Maka dampak kritik DHL terhadap sounding dari beberapa tokoh yang ber-statemen kebangsaan, yang muatan lisan politis hukumnya, “bahwa terhadap semua implementasi kesalahan Jokowi selama berkuasa dilupakan atau dimaafkan”, agar bangsa ini fokus ke masa depan (diantara sounding dengan dasar faktor pemaaf datang dari salah satunya dari Tokoh Hukum Nasional Jimly Asshiddiqie).
Dan DHL menolak secara tegas dan kritis disertai perspektif logika hukum, yang pada intinya penolakan oleh DHL terkait, “oleh siapa dan kepada siapa melakukan musyawarah perdamaian”, dikarenakan semua bentuk akibat diskresi politik kekuasaan, melahirkan kerugian materil dan moril kepada banyak pihak, contoh perilaku korupsi, persekusi dan kriminalisasi dan praktik KKN dan kejahatan HAM termasuk pemalsuan identitas atau biografi, yaitu Jokowi ijasah nya palsu melalui pembuktian sidang pidana di PN Surakarta / Solo tahun 2023 akhir . Hakekat korban sebenarnya adalah seluruh bangsa ini.
Perkembangan wacana restoratif justice
Andai restoratif justice (faktor pemaaf) diberlakukan tentu akan mencederai rasa keadilan pada ratusan juta masyarakat bangsa ini, terutama kepada para korban atau keluarga korban yang teraniaya secara fisik dan psikologis, klain kami B. Tri dan Gusnur di penjara 4 Tahun , bahkan banyak yang meninggal dunia, diantaranya koban tragedi unlawful killing KM.50 Tol Cikampek, Jabar, kematian lebih kurang 894 petugas KPPS di seluruh Indonesia dan korban kematian penonton sepak bola di Stadion Kanjuruhan Malang, Jatim, semua pertanggungjawaban hukum adalah pada eks rezim atau “korban Jokowi” selaku eks Presiden RI ke 7 penguasa tertinggi eksekutif di NKRI.
Alhamdulillah suara-suara wacana memaafkan terhadap perilaku buruk Jokowi (bad leadership) Jokowi dimasa kepemimpinannya kini sirna, atau kah hanya temporer (sementara waktu?).
Namun kini disayangkan muncul lagi gagasan dari Yusril dengan wacana, adanya “faktor pemaaf bagi pelaku korupsi,” dengan pola pengembalian hasil korupsi kepada negara, hal ini patut di duga adanya pesanan dari Jokowi atau Yusril cari muka padanya .
Inti Tanggapan Terhadap Artikel DHL
DHL tidak lengkap dalam narasi tulisan artikelnya yang tayang hari ini, Minggu, 22 Desember 2024 yang berjudul “”Negara Darurat Maling Sehingga Ajak Pelaku Berdamai”, semestinya dalam narasi hukum ada memuat tentang teori asas pidana yaitu asas Legalitas dalam pasal 1 ayat 1 KUHP, seseorang tidak dapat di Pidana bila tidak ada hukum yang mengaturnya , tentang delik korupsi, dan penggunaan uang hasil korupsi, dengan sudut tinjauan hukum yang kompleks dan sulit terbantahkan, berdasarkan beberapa metode atau teori psikologis dan menyinggung sejarah hukum Jokowi, berikut ini:
1. Teori dan asas asas hukum dengan unsur-unsur pemenuhan delik, bahwasanya delik korupsi adalah bukan delik aduan, sehingga tanpa butuh laporan atau aduan dari publik, dan delik korupsi merupakan delik materil, yakni selain perbuatan formilnya menimbulkan akibat kerugian (delik materil), dengan diawali unsur mensrea atau dolus/opzet, atau schuld dengan latar belakang kejiwaan dengan sengaja bukan sebab lalai atau culfa, demi mendapatkan keuntungan pribadi atau keuntungan orang lain atau korporasi, yang dirugikan adalah keuangan atau perekonomian negara ;
2. Adanya faktor pembiaran atau pembangkangan hukum dan obstruksi hukum (sengaja menghalangi) yang dilakukan oleh presiden (Jokowi) terhadap perilaku korupsi (contoh, laporan gratifikasi/ korupsi terhadap Gibran dan Kaesang di KPK) dan peristiwa hukum yang melibatkan “MUHAIMIN dan Airlangga CS” bahkan diantaranya malah dijadikan menteri (saat rezim Jokowi dan disayangkan berlanjut hingga saat ini di Pemerintahan Prabowo ), lalu tidak memerintahkan Kapolri agar penyidik menahan TSK Korupsi Firly Bahuri, eks Ketua KPK. Dan Medel pleger serta TSK lainnya pada beberapa peristiwa hukum, satu diantaranya lainnya adalah pembiaran perilaku nepotisme Anwar Usman mantan ketua MK karena Adik ipar nya . Sehingga era Jokowi terkait problematika hukum tidak berkepastian, jauh dari manfaat serta tidak menciptakan rasa keadilan pada bangsa ini;
3. Sisi Filisofis Ideologisnya yang sesuai dengan Pancasila , adalah Perilaku korupsi melanggar asas Ketuhanan Yang Maha Esa dan Asas Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia, karena ALLAAH MAU NYA KOROPTOR / PENCURI TANGAN nya di POTONG bukan masa tahanan nya yang di potong . Rujukan yang berasal dari Al Qur’an, yaitu Surah Al Maidah (Surah ke 5) Ayat 38 , yaitu :
وَا لسَّا رِقُ وَا لسَّا رِقَةُ فَا قْطَعُوْۤا اَيْدِيَهُمَا جَزَآءً بِۢمَا كَسَبَا نَـكَا لًا مِّنَ اللّٰهِ ۗ وَا للّٰهُ عَزِيْزٌ حَكِيْمٌ
“Adapun orang laki-laki maupun perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) balasan atas perbuatan yang mereka lakukan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa, Maha Bijaksana.”
(QS. Al-Ma’idah 5: Ayat 38) .
4. Dari sisi psikologis dan historis sosiologi hukum, pelaku korupsi (para koruptor) umumnya selain digunakan (membeli harta benda) dan menyembunyikan harta korupsinya melalui money laundry dengan cara membuat badan usaha legal, atau menanam modal saham (join usaha) atau membeli saham dan atau juga mengatasnamakan saham/ kekayaannya atas nama orang lain, atau untuk melakukan suap (gratifikasi).
Bahwa kesemua tentang Koropsi tersebut jelas ada Hukum dan Sanksi nya tapi mengapa tidak di berlakukan ???
Penutup
Penanggap menyampaikan, terima kasih kepada DHL yang dalam artikelnya menggunakan metode analogi filosofi teori ES yaitu OST JUBEDIL (Objektif, Sistematis, Toleran , Jujur, Benar , Adil) , teori atau konsep yang berasal dari nilai-nilai pemikiran (analogi dan filosofi serta dinamika dan pengalaman hidup) yang disusun sebagai bentuk buku ilmiah oleh pribadi Penanggap (Eggi Sudjana), insyaaAllaah dalam waktu dekat Buku penulis penggap ini yaitu dengan judul ES TEORI OST JUBEDIL , sebentar lagi akan di terbitkan .
Kesimpulan
Kupasan substantif tentang faktor pemaaf terhadap koruptor yang diwacanakan oleh Yusril adalah absurd bahkan tidak sesuai dengan TUJUAN HUKUM itu sendiri , masyarakat umumnya untuk mendapatkan fungsi hukum, yaitu kepastian , manfaat dan rasa keadilan nya .
Oleh sebab lainnya dari sisi teori dan retorika mau pun psikologis pelaku delik korupsi yang moral hazard, tentu jiwanya telah tertanam benih ingin berlaku curang (jahat), praktiknya dengan preparing mengatasnamakan uang hasil curiannya kepada orang lain dan atau money laundry, selain faktor sebagian hasil korup telah dinikmati atau membelanjakannya karena faktor hedonisme (gaya hidup foya-foya dan glamour) maka negara tidak akan mendapat atau menemukan (estimasi) yang akuntabilitas, atau sulit menemukan kerugian negara dengan jumlah nominal kerugian yang dialami negara oleh dader/ pleger/ pelaku korup dengan angka sesungguhnya, sehingga dapat dipastikan, faktor pemaaf yang diwacanakan Yusril atas nama pemerintahan Prabowo Subianto, adalah sedikit manfaatnya, NAMUN PASTINYA TIDAK BERKEPASTIAN HUKUM SERTA JAUH DARI RASA KEADILAN YANG BAKAL DIDAPAT OLEH MASYARAKAT BANGSA INI.
Saran
Untuk itu sebagai sesama Muslim, bukan dengan maksud menjudge atau menggurui seorang pakar hukum tata negara seperti Yusril , namun hendaknya dan sudikiranya Yusril selaku Menko Hukum & HAM dan pernah ketua umum partai PBB yang platform partainya bernafaskan Islam, tentu konteks segala sesuatu mesti bersandar dan semata-mata berperilaku dan memutuskan dengan berpedoman dan berpikir serta berbuat sebagai seorang intelektual muslim yang selalu amanah dan konsisten atau kaffah bahkan justru memperjuangkan nilai-nilai agung dan mulia sebagai perintah bagi pemimpin agar berlaku adil, sesuai isi kandungan kitab suci al quran, seperti Surat Al Anbiya [ 21 ] ayat 73. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
وَجَعَلْنٰهُمْ اَئِمَّةً يَّهْدُوْنَ بِاَ مْرِنَا وَاَ وْحَيْنَاۤ اِلَيْهِمْ فِعْلَ الْخَيْرٰتِ وَاِ قَا مَ الصَّلٰوةِ وَاِ يْتَآءَ الزَّكٰوةِ ۚ وَكَا نُوْا لَـنَا عٰبِدِيْنَ
“Dan Kami menjadikan mereka itu sebagai pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami dan Kami wahyukan kepada mereka agar berbuat kebaikan, melaksanakan sholat, dan menunaikan zakat, dan hanya kepada Kami mereka menyembah.”
(QS. Al-Anbiya 21: Ayat 73) .
* Bahwa Pasti Kita Hamba NYA kelak absolut, pasti akan diminta pertanggungjawaban dihadapanNYA, ALLAAH SUBHANNAHU WA TA ALA :
وَلَا تَقْفُ مَا لَـيْسَ لَـكَ بِهٖ عِلْمٌ ۗ اِنَّ السَّمْعَ وَا لْبَصَرَ وَا لْفُؤَادَ كُلُّ اُولٰٓئِكَ كَا نَ عَنْهُ مَسْئُوْلًا
“Dan janganlah kamu mengikuti sesuatu yang tidak kamu ketahui. Karena pendengaran, penglihatan, dan hati nurani, semua itu akan diminta pertanggungjawabannya.”
(QS. Al-Isra’ 17: Ayat 36) .
Bahwa Saya penuh harap Kabinet pemerintahan di bawah komando Presiden RI ke 8 , bapak Prabowo Subianto , mau tunduk patuh pada Ayat2 Suci NYA diatas Taat pada Konstitusi Pancasila dan UUD 45 . Salam Juang , BES = Bang Eggi Sudjana .
Oleh: Prof .Dr. H. Eggi Sudjana,SH., M.Si. / Presiden TPUA/ Tim Pembela Ulama & Aktivis