Korannusantara.id – Opini, Tatkala pembuat kebijakan mengalami distorsi persepsi maka keliru dalam dan sehingga kegaduhan dalam angka. (17/7)
Misalnya, isu fraud senilai Rp20 triliun dalam program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang sempat memanaskan ruang publik. Ucapan (mantan) Wakil Ketua KPK, Alexander Marwata, dalam forum formal BPJS Kesehatan September 2024 lalu, seakan menjadi peluit keras—tanpa kepastian pelanggaran faktual, tanpa hasil audit.
Menggunakan frasa “bincang-bincang” dan “kira-kira” jadi pengantar dugaan yang melompat jauh.
Benarkah itu data sahih? Atau hanya distorsi persepsi seperti disebut Dr. Chazali Husni Situmorang, tokoh DJSN dan mantan Deputi Kemenko Kesra yang dikenal jernih dan bebas konflik kepentingan? Senior saya Dr. Chazali H.Situmorang itu menegaskan bahwa istilah fraud dalam konteks ini kerap dibumbui persepsi, bukan dasar hukum yang tegas.
Padahal, asas legalitas mengharuskan kepastian hukum—tidak bisa ada pelabelan “fraud” tanpa definisi dan alat ukur yang jelas. Jangan sampai publikasi “angka sensasional” menimbulkan kekacauan di dunia pelayanan kesehatan, dan menjadi bola panas yang meledakkan ketenangan rumah sakit, tenaga medis, dan peserta JKN.
Fraud: Istilah Luas Tanpa Batasan Tegas
Permenkes No. 16 Tahun 2019 memang memberi definisi fraud sebagai perbuatan curang untuk keuntungan finansial yang melanggar ketentuan perundangan. Tapi batasannya kabur: mana aturan spesifiknya? Apa ukurannya? Siapa pelakunya? Bagaimana membedakan fraud dari kesalahan medis (error), pelanggaran etika profesi, atau hanya penyimpangan prosedural?
Bahkan KPK pun membedakan fraud dengan korupsi dalam paparannya. Jadi, bagaimana mungkin semua pelanggaran dikategorikan fraud tanpa seleksi jenis, motif, dan konteks?
Bukankah tindakan medis memiliki kekhususan tersendiri yang tunduk pada kewenangan etik, disiplin, dan profesi?
Urgensi “Pagar” Fraud: Kepastian Hukum!
Esai ini menegaskan bahwa kita butuh pagar hukum. Fraud tak bisa dibiarkan menjadi istilah elastis yang bisa mengikat siapa pun secara serampangan. Kepastian hukum merupakan asas fundamental yang dilindungi UUD 1945 Pasal 28D ayat (1). Karena itu:
1. Harus ada definisi fraud yang limitatif dan operasional.
2. Harus ada PNPK (Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran) sebagai alat uji objektif.
3. Harus dibedakan mana fraud administratif, mana disiplin klinis, mana masuk ke ranah pidana. Jangan digebyah uyah tanpa pagar.
Tanpa ketiga indikator iki, yang terjadi hanyalah perang tafsir yang memunculkan: ketidakpastian, dan ketakutan massal yang memukul mentalitas tenaga medis dan institusi fasilitas pelayanan kesehatan.
Bangun Ekosistem, Lex Specialis Penanganan Fraud JKN
Penyelesaian fraud tidak bisa diserahkan pada mekanisme hukum umum. Dibutuhkan lembaga atau sistem penyelesaian khusus yang menghormati kekhususan dunia medis dan pelayanan kesehatan. Peranan seperti Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran, duli; sekarang Majelis Dispilin Profesi semestinya menjadi inspirasi bagi pembentukan lembaga penyelesaian fraud yang khusus (lex specialis), yang melibatkan profesional dari berbagai sisi: medis, hukum, ekonomi kesehatan. Sayangnya MDP dibawah kendali Menteri Kesehatan.
Juga, Dewan Pertimbangan Klinis (DPK) mesti dirombak total menjadi badan independen penyelesaian fraud JKN.
Tak hanya menangani sengketa medis, tapi juga penyimpangan administratif dan sistem pembiayaan yang kompleks.
Tesis Utama: Perubahan Ekosistem, Equality Before Constitution
Saya kerap menyodorkan tesis bahwa penyelenggaraan JKN adalah manifestasi dari tiga mandat konstitusional:
(1) Hak atas kesehatan (Pasal 28H ayat 1)
(2) Hak atas jaminan sosial (Pasal 28H ayat 3)
(3) Kewajiban negara menyediakan pelayanan kesehatan (Pasal 34 ayat 3)
Karena itu, tiga aktor utamanya—BPJS Kesehatan dan Kementerian Kesehatan, asosiasi rumah sakit, dan tenaga medis/ kesehatan juncto organisasi profesi—harus duduk setara dan sejajar dalam merancang kebijakan yang mewujudkan trio mandat konstitusi UUD 1945.
Tidak boleh ada dominasi sepihak. BPJS bukan tuan tunggal JKN. Mereka adalah trilogi konstitusional yang harus diperlakukan secara adil dan proporsional.
Terlebih karena Psal 193 UU Kesehatan terbaru bahkan memberi beban tanggungjawab hukum kepada rumah sakit atas perbuatan SDM rumah sakit yang membuka potensi tekanan hukum bertubi-tubi, padahal belum tentu pelanggaran dilakukan oleh institusi, atau bahkan belum tentu terjadi.
Jangan Fraud Tanpa Batas
Jika tidak ada pembenahan mendasar, maka wajar bila fraud dalam JKN dianggap berbatas langit, tanpa pagar. Ngeri jika bebas tafsir, bebas tuduhan, itu membahayakan ekosistem JKN. Maka lahirlah kegelisahan sistemik di kalangan faskes dan tenaga kesehatan.
Bangsa bisa gagal bukan karena kebijakan buruk, tapi karena institusi lemah—begitu kata Daron Acemoglu. Maka, jika kita ingin JKN kuat, sehat, dan adil, mulailah dari sua hal ini: reformasi ekosistem kelembagaan dan penegakan hukum yang konstitusional.
Karena dalam pelayanan kesehatan, bukan hanya tubuh rakyat yang harus disembuhkan—tapi juga sistem yang harus disehatkan. Kesehatan rakyat dipelihara negara, bukan industri kesehatan! Cocok, kan? Tabik.










