Korannusantara.id – Antara Jumlah dan Substansi Indonesia bukan sekadar negara dengan jumlah penduduk Muslim terbesar di dunia—ia adalah mosaik yang rumit dari kepercayaan, adat istiadat, dan sejarah panjang pergulatan identitas.
*Dengan lebih dari 230 juta jiwa* yang mengaku Muslim, negeri ini menjadi laboratorium hidup tempat Islam tidak hanya dipraktikkan, tetapi juga ditafsirkan, dinegosiasikan, bahkan dipertanyakan dalam kehidupan sehari-hari.
*Namun, angka mayoritas bukanlah jaminan* akan kematangan keberagamaan. Justru di situlah tantangannya, bagaimana mayoritas itu menyikapi keberadaan yang lain—minoritas agama, etnis, dan bahkan sesama Muslim dengan tafsir yang berbeda.
Apakah jumlah yang besar itu menjadi pelindung nilai-nilai rahmatan lil alamin, atau justru menjadi tameng superioritas yang menindas?
Islam Indonesia sejatinya lahir dari proses panjang dialog budaya. Ia bukan tamu yang mengetuk pintu dengan sepatu berdebu padang pasir, melainkan tumbuh bersama rakyat, berdamai dengan gamelan, bersahabat dengan batik, dan bersujud di bawah bayang-bayang pohon rindang, bukan menara beton.
Dari Wali Songo hingga pesantren-pesantren tradisional, Islam datang tidak sebagai gelombang revolusi, tapi sebagai angin lembut yang menyejukkan hati.
Namun zaman berubah. Dalam dunia digital yang hiper-reaktif, suara lantang lebih cepat viral daripada hikmah sunyi.
Islam mayoritas kadang terlihat lebih sibuk mengatur moral orang lain daripada merefleksi moral dirinya sendiri. Umat kadang lebih tergoda menjadi hakim sosial ketimbang menjadi saksi kebaikan.
Mayoritas, dalam demokrasi, memang memiliki kekuatan. Tapi dalam Islam, kekuatan itu seharusnya menjadi amanah, bukan alat tekanan.
Nabi Muhammad SAW justru paling bersinar bukan saat menang jumlah, tetapi saat mampu menang hati. Di situlah kita belajar: menjadi mayoritas itu bukan tentang mendominasi, tetapi tentang memberi teladan.
Indonesia punya potensi unik, ia bisa menjadi contoh bagaimana Islam dan demokrasi bisa berdampingan, bukan berseberangan. Tapi semua itu tergantung pada bagaimana umat Islam Indonesia membaca dirinya, sebagai pemimpin yang merangkul atau sebagai penjaga pagar yang sibuk melarang?
Akhirnya, pertanyaan bagi mayoritas bukan lagi soal “berapa banyak kita,” melainkan “apa yang telah kita perbuat?” Karena sejarah tidak mencatat kuantitas, melainkan kualitas kontribusi.
Mengapa Umat Islam Selalu Di-InfiLtrasi Untuk Keburukan
Mari kita buka dengan pertanyaan yang tampaknya sederhana namun sarat
ironi historis,
mengapa umat Islam, dari masa ke masa, tampaknya selalu menjadi target empuk infiltrasi, subversi, dan segala jenis manuver licik berkedok kemajuan?
Apakah ini semacam olahraga internasional? Atau hobi kolektif pihak-pihak yang merasa belum lengkap hidupnya kalau belum mengobok-obok satu peradaban besar?
Tentu saja, kita tak bisa menafikan bahwa umat Islam adalah pasar yang menggoda.
Dengan populasi lebih dari 1,9 miliar jiwa dan rekam jejak sejarah yang pernah mengguncang dunia dalam ilmu pengetahuan, ekonomi, militer, dan tentu saja-agama, umat ini bukan sembarang komunitas.
Umat Islam bukan hanya pasar konsumen, tetapi juga ladang ideologi yang subur.
Maka, sangat logis (jika logika masih berlaku di dunia ini) jika banyak pihak ingin ‘ikut nimbrung’ dalam urusan rumah tangga umat Islam—baik yang diundang maupun yang nekat masuk lewat jendela dapur.
Infiltrasi adalah Seni Menyusup dengan Dalih Cinta
Modusnya selalu sama, hanya bajunya saja yang berganti. Dulu, datanglah kolonialisme dengan alkitab di satu tangan dan senapan di tangan lain, berjanji membawa cahaya, padahal ternyata membawa invoice penghisapan sumber daya alam. Kini, bentuknya lebih modern, LSM yang katanya “peduli HAM”, serial Netflix dengan bumbu toleransi semu, influencer hijrah dadakan yang mendadak akrab dengan algoritma kapitalisme spiritual, atau tokoh ‘keberagaman’ yang lebih suka mengoreksi ajaran orang lain daripada memperbaiki ketimpangan di kantongnya sendiri.
Tujuannya? Tentu saja mulia-jika kita mendefinisikan “mulia” sebagai kemampuan untuk melemahkan fondasi ideologis, menanam benih keraguan dalam akidah, dan menggiring opini publik bahwa ajaran Islam itu usang jika tidak didandani ala Barat. Ini semua atas nama progress, kemajuan, dan tentu saja-toleransi versi mereka.
Kenapa Umat Islam Mudah Jadi Target?
Pertanyaan ini ibarat bertanya mengapa kambing sering dimakan serigala. Sebagian jawabannya terletak pada pihak luar, tentu. Tapi sebagian lainnya ada pada umat itu sendiri.
Sebagian dari umat ini terlalu sibuk bertengkar soal fiqih, lupa bahwa para musuh sedang merancang infiltrasi dari balik layar.
Sebagian terlalu mudah silau oleh label ‘moderat’, ‘keren’, ‘gaul’, dan rela meninggalkan prinsip hanya agar tidak dianggap ‘kuno’.
Seolah-olah ketaatan itu musuh dari modernitas.
Belum lagi dengan kecenderungan sebagian elitnya yang lebih mencintai pujian dunia daripada amar makruf nahi mungkar.
Mereka menegosiasikan prinsip demi kursi, demi panggung, demi mikrofon di depan kamera yang menyala.
Konklusinya adalah Antara Naif dan Lalai
Umat Islam, jika ingin terus ada dan tetap menjadi cahaya bagi dunia, harus kembali pada substansi, bukan kemasan. Infiltrasi akan selalu ada, karena kebenaran akan selalu menjadi target kebatilan.
Tapi apakah kita akan terus menerus menjadi korban atau justru bangkit menjadi penjaga gerbang peradaban, itu tergantung pada pilihan kita sendiri.
Ingat, domba hanya bisa diterkam serigala jika dia jauh dari kawanannya dan lupa bahwa ia diciptakan bukan hanya untuk menjadi santapan, tetapi untuk menggembalakan akhlak dunia.
Benz Jono Hartono
Praktisi Media Massa di Jakarta
Jakarta, 30 April 2025.