Korannusantara.id, Jakarta Timur – Penetapan tersangka terhadap seorang warga bernama Adrianto oleh Polresta Jakarta Timur menuai sorotan publik dan mendapat respons keras dari tim kuasa hukumnya. Padahal, Adrianto sebelumnya melaporkan dua pria, yakni Susanto dan Susanto, atas dugaan pengeroyokan yang terjadi pada 13 Oktober 2024 di kawasan Cawang atau Otista, Jakarta Timur.
Kuasa hukum Adrianto, Dr. Fetrus SH., MH., dan Dr. Artur SH., MH., menegaskan, bahwa klien mereka adalah korban kekerasan fisik yang dibuktikan dengan hasil visum rumah sakit dan telah melaporkan kejadian tersebut secara resmi pada November 2024.
Namun dalam perkembangan yang dinilai janggal, justru Adrianto kini ditetapkan sebagai tersangka dalam laporan balik yang dibuat oleh pihak terlapor.
Diketahui, Laporan balik tersebut tercatat dalam Laporan Polisi Nomor: LP/B/331/XI/2024/SPKT/SEK.JTN/RES.JT/PMJ tertanggal 7 November 2024 atas nama pelapor Susanto, dan ditangani oleh Polsek Jatinegara.
Menindaklanjuti laporan ini, penyidik Unit Reskrim Polsek Jatinegara telah melayangkan undangan klarifikasi kedua kepada Andrianto yang dijadwalkan pada: Hari/Tanggal: Senin, 3 Maret 2025 Waktu: Pukul 10.00 WIB Tempat: Unit Reskrim Polsek Jatinegara, Jl. Otista Raya No. 1, Jakarta Timur.
Penyidik: IPDA Yusbani Yusuf, S.H. dan BRIPTU Aji Prasetyo, dalam proses klarifikasi, kuasa hukum Adrianto mengungkap, adanya ketegangan yang terjadi antara mereka dan salah satu oknum aparat kepolisian, dipicu oleh perbedaan pendapat. Situasi tersebut berhasil dikendalikan dan tidak berkembang menjadi kekerasan.
“Klien kami adalah korban. Ada visum, ada laporan resmi. Tapi justru dia yang dijadikan tersangka. Ini bukan hanya aneh, tapi juga berbahaya bagi keadilan,” ujar Fetrus dalam keterangannya kepada wartawan di Jakarta, (30/4/2025).
Tim kuasa hukum, yang juga tergabung dalam Forum Pemuda Kalbar dan Perisai Kalimantan Bersatu, menyatakan tengah menyiapkan langkah hukum lanjutan guna menjamin perlindungan hukum bagi klien mereka serta meminta transparansi dalam proses penyelidikan.
“Ini bukan hanya soal satu orang. Ini soal keadilan bagi setiap warga negara yang berani melapor dan mencari perlindungan hukum. Negara tidak boleh membiarkan korban dikriminalisasi,” tambah Dr. Artur
Kasus ini memunculkan perhatian luas dari masyarakat dan pegiat hukum, yang mempertanyakan objektivitas penegakan hukum serta perlindungan terhadap pelapor tindak kekerasan.
“Maka dari itu, publik kini menanti langkah tegas dari aparat untuk memastikan bahwa keadilan ditegakkan secara substantif, bukan sekadar formalitas prosedural,” tutupnya. (red)