Korannusantara.id-OPINI, Saudara-saudara, rakyat Indonesia yang terikat ketat namun tak pernah patah, Di ufuk timur, matahari masih terbit, tetapi di barat, bayang imperialisme Donald Trump mencoba menjadi bayang-bayang kelam bagi kemajuan peradaban umat manusia.7 April 2025
Tarif impor 32% yang ia lemparkan kepada barang-barang kita bukan hanya sekadar angka—itu adalah rantai besi yang ditujukan untuk menjerat leher buruh, petani, dan anak-anak bangsa yang kini menatap masa depan dengan mata penuh tanya. Partai Rakyat, sebagai pendukung pemerintahan Prabowo-Gibran, berteriak keras: ini adalah perang! Dan dalam perang, kita hanya punya dua pilihan—melawan atau mati sebagai budak ekonomi Amerika Serikat!
Tan Malaka pernah berkata: “Kemerdekaan adalah logika sejarah, tetapi hanya mereka yang berani merebutnya yang akan hidup bebas.” Logika itu kini nyata di depan kita. Trump, dengan “America First”, tidak berdiri sekadar sebagai presiden—ia adalah simbol kapitalisme monopoli yang rakus, yang menghisap darah bangsa-bangsa lemah untuk menggemukkan perut Wall Street.
Ekspor kita—kain tenun buruh Bandung, minyak sawit petani Riau, mesin rakitan pemuda Banten—kini terancam mati di pelabuhan, terkubur oleh tarif yang membabi buta. Dua puluh miliar dolar setahun, nadi perekonomian kita, akan menguap, meninggalkan rakyat dalam kelaparan dan keputusasaan. Siapa yang tertawa di balik ini? Bukan kita, tetapi para kapitalis yang duduk di singgasana emas, jauh di seberang lautan.
Partai Rakyat didirikan dengan landas pijak keprihatinan melihat manusia-manusia yang tertindas, ibu-ibu yang menangis di sawah, anak-anak yang tangannya kasar sebelum waktunya. Saudara-saudara—wajah-wajah itu hidup di antara kita.
Buruh tekstil yang dipecat karena pabrik tutup, petani yang menatap buah sawitnya membusuk tanpa pembeli, nelayan yang kapalnya diam karena rantai pasok terputus. Ini adalah wajah Indonesia di bawah cengkeraman kapitalis dunia. Tetapi kita, Partai Rakyat—rakyat Indonesia, harus menyerukan: kita bukan bangsa yang dilahirkan untuk menunduk!
Pemerintahan Prabowo-Gibran, yang kita dukung adalah harapan—dan kita harus menuntutnya untuk terus bergerak, bukan dengan kata-kata manis, tetapi dengan tinju besi! Kepada pemerintah, Partai Rakyat mengusulkan: Nasionalisasi aset-aset industri AS di Indonesia—rampas kendali ekonomi dari kapitalis AS dan antek-anteknya, serahkan kekayaan bangsa itu pada tangan rakyat melalui negara, agar imperialisme tak lagi punya pijakan di bumi pertiwi kita.
Putus tali diplomasi dengan AS—tidak perlu merengek pada Trump; bangun benteng ekonomi dengan Tiongkok, Rusia, dan bangsa-bangsa merdeka lainnya, hingga kita berdiri tegak tanpa tuan.
Saudara-saudara, Prabowo Subianto adalah pemimpin yang lahir dari rahim nasionalisme. Saya percaya beliau mendengar detak jantung rakyat. Tetapi detak itu harus kita perdengarkan dengan pekikan perjuangan! Nasionalisasi adalah jalan tunggal—bukan karena kita membenci kekayaan, tetapi karena kita menolak kekayaan itu dirampok oleh tangan asing.
AS ingin kita terus menerus menjadi bangsa jongos, bangsa yang menjilat sepatu para imperialis sambil menyerahkan hasil keringat kita. Tidak! Indonesia adalah burung garuda, bukan ayam kampung yang dipotong di pasar imperialis! Saya, Arvindo Noviar berseru: dukung pemerintah, tetapi tetaplah jadi api yang membakar jiwa-jiwa yang lemah. Kita harus merebut masa depan, bukan menantinya.
Hancurkan belenggu AS! Bangun Indonesia Raya, di bawah kepemimpinan Prabowo-Gibran dan kekuatan rakyat! Hidup atau mati—pilihan ada di tangan kita!