Korannusantara.id– Ketika berbicara tentang perkaderan, tentu kita tidak asing dengan program atau pelatihan yang bertujuan menumbuhkan anggota menjadi kader berkualitas dan mapan. Setelah mengikuti pelatihan, kader harus ditempatkan sebagai pionir yang siap membawa perubahan, bukan sekadar peserta yang selesai mengikuti rangkaian kegiatan tanpa tindak lanjut yang jelas.
Oleh karena itu, setiap pelatihan harus dikemas secara teknis dan diarahkan pada tujuan yang jelas serta menopang Rencana Tindak Lanjut (RTL). Pelatihan bukan sekadar formalitas atau rutinitas yang diulang-ulang tanpa evaluasi dan perbaikan. Namun, kenyataanya RTL yang disusun setelah pelatihan sering kali tidak terlaksana dengan maksimal. Hal ini bisa disebabkan oleh kurangnya komitmen dari peserta, lemahnya sistem pengawalan, atau minimnya sinergi antara instruktur dan kader yang telah dilatih. Akibatnya, pelatihan yang diadakan terkesan hanya menjadi ritual belaka demi melanjutkan tradisi.
Padahal, tujuan utama pelatihan adalah menjawab kebutuhan dan tuntutan zaman. Jika hal ini terus dibiarkan, kita sebenarnya telah salah kaprah dalam memahami *NDP Bab 1*, yang mengatakan tradisi yang tanpa melihat kebutuhan zaman akan bersifat kontra-produktif terhadap peradaban. Tradisi yang baik adalah tradisi yang mampu beradaptasi dan menjawab tantangan zaman, bukan hanya mempertahankan sesuatu karena dianggap sebagai kebiasaan yang harus terus diwarisi.
Melihat kenyataan ini, setiap instruktur seharusnya lebih peka, tidak hanya dengan bersedia menjadi pemandu, pemantik, atau pemateri, tetapi juga dengan mengawal perkembangan kader di luar pelatihan. Proses pembentukan kader tidak berhenti di dalam forum pelatihan saja, melainkan harus terus berlanjut dalam aktivitas nyata di dunia organisasi, sosial, maupun profesional. Oleh karena itu, instruktur dituntut untuk memiliki wawasan luas dalam berbagai aspek yang dibutuhkan oleh HMI.
Namun, masalahnya adalah esensi instruktur yang berat sering kali membuat sebagian dari mereka hanya berfokus pada kemampuan yang sudah biasa mereka kuasai. Akibatnya, pelatihan yang seharusnya bersifat praktis justru beralih menjadi sekadar perdebatan filosofis, seperti mempertanyakan eksistensi Tuhan tanpa relevansi langsung dengan tujuan awal pelatihan.
Memang, kajian semacam itu juga bagian dari ilmu, tetapi kita tidak boleh melupakan esensi dan arah tujuan pelatihan. sebab, Pelatihan harus mampu membekali kader dengan kemampuan yang dapat mereka aplikasikan dalam mewujudkan tujuan pelatihan. Oleh karena itu, instruktur harus rutin membaca perubahan dan perkembangan zaman, serta mampu menyesuaikan kurikulum pelatihan dengan kebutuhan.
instruktur adalah penjaga *mata air* perkaderan. Jika mereka tidak memahami ke mana arah yang harus dituju, bagaimana nasib perkaderan ke depannya? Apakah kita hanya akan terus mengulang pola yang sama tanpa ada progres? Jika demikian, maka kita telah gagal dalam mencetak kader yang mampu menjawab tantangan zaman dan menjadi agen perubahan yang sesungguhnya. NTB,18 Februari 2025.