Jakarta – Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) mendesak Polda Nusa Tenggara Timur (NTT) mengusut dugaan penganiayaan polisi terhadap jurnalis yang juga Pemimpin Redaksi (Pemred) Floresa Herry Kabut. Herry sebelumnya mengaku ditangkap dan dianiaya polisi saat meliput unjuk rasa warga Poco Leok di Kabupaten Manggarai, NTT, Rabu (2/10/2024).
Unjuk rasa itu untuk menolak proyek geotermal di sana. Selain Herry, ada tiga warga Poco Leok yang juga ditangkap polisi.
“Kompolnas akan mengirimkan surat klarifikasi ke Polda NTT untuk menanyakan kebenaran tentang hal ini dan Kompolnas juga meminta diadakannya penyelidikan terkait dengan hal ini. Apakah benar aparat yang berjaga melakukan penganiayaan terhadap jurnalis dan beberapa warga,” kata Komisioner Kompolnas Poengky Indarti dalam keterangannya, dikutip Senin (7/10/2024).
Ia meminta kasus tersebut diusut tuntas. Jika benar polisi melakukan penganiayaan terhadap Herry maka harus diproses secara pidana dan etik.
“Jika benar ada penganiayaan maka pelakunya mesti harus diproses dengan dikenai dua sanksi. Pertama, sanksi pidana karena penganiayaan itu adalah merupakan tindak pidana. Kedua, sanksi etik, karena melakukan penganiayaan itu juga merupakan pelanggaran kode etik,” tegas Poengky.
Menurut Poengky, Kapolda NTT harus mengambil sikap tegas dengan memberikan sanksi jika benar ada penganiayaan terhadap jurnalis yang meliput unjuk rasa tolak geotermal di Poco Leok itu. Dengan demikian ada efek jera bagi anggota Polri.
“Jika benar ada aparat dari NTT yang melakukan kekerasan terhadap jurnalis maka Kompolnas mendorong kepada Kapolda memberikan sanksi tegas kepada mereka yang melakukan kekerasan terhadap jurnalis,” kata Poengky.
“Sanksi tegas itu berupa sanksi etik dan sanksi pidana sehingga ada efek jera bagi yang bersangkutan maupun bagi kawan-kawan yang lain untuk tidak melakukan hal tersebut,” lanjut dia.
Ia mendorong kasus penganiayaan terhadap Herry itu dilaporkan ke pengawas internal Polri, yakni Inspektorat Pengawasan Daerah (Itwasda) dan Inspektur Pengawasan Daerah (Irwasda). Bisa juga dilaporkan ke divisi profesi dan pengamanan (Propam).
“Kami berharap agar kasus penganiayaan yang diduga menimpa jurnalis tersebut agar dilaporkan baik kepada pengawas internal kepolisian yaitu Itwasda atau langsung ke Irwasda untuk supaya dapat segera ditindaklanjuti. Atau kepada Propam apabila mengetahui nama anggota yang melakukan kekerasan tersebut sehingga yang bersangkutan dapat segera diproses hukum oleh Propam,” jelas Poengky.
Ia juga berharap agar kasus itu dilaporkan secara resmi ke Kompolnas. Dengan demikian Kompolnas dapat memantau kasus itu hingga meminta klarifikasi ke Polda NTT.
“Kami juga berharap sebagai pengawas eksternal agar Kompolnas dapat diberikan pengaduan sehingga kami dapat memantau kasusnya dan dapat melakukan klarifikasi kepada Polda disertai dengan rekomendasi jika memang benar ada penganiayaan terhadap jurnalis,” ujarnya.
Kompolnas berharap kasus penganiayaan terhadap jurnalis tidak terjadi lagi di kemudian hari. Menurut dia jurnalis yang bertugas menyampaikan fakta kepada masyarakat harus dilindungi.
“Karena Indonesia melindungi kebebasan pers maka seluruh aparat baik aparat pemerintah maupun aparat negara harus melindungi kebebasan pers. Jika ada yang berani mengganggu kebebasan pers itu maka yang bersangkutan harus diproses hukum,” tegas dia.
“Kebebasan jurnalis untuk melakukan peliputan itu wajib dilindungi. Jadi dengan adanya UU pokok Pers maupun terkait dengan hal asasi manusia, UUD 1945 menjamin kebebasan bagi jurnalis untuk dapat menjalankan tugasnya dengan baik,” tandas Poengky.
Adapun Herry ditangkap aparat saat meliput unjuk rasa warga Poco Leok Herry mengaku dianiaya dan disekap dalam mobil polisi. “Saya mulai ditangkap aparat keamanan sekitar pukul 14.37 Wita dan baru dilepaskan pukul 18.00 Wita,” ujar Herry dalam keterangannya, Jumat (4/10/2024).
Herry mengaku sejumlah aparat memukul dan menendangnya. Mukanya ditinju. Ia juga menyebut ada seorang wartawan yang bersama aparat ikut menganiayanya.