Jakarta – Demi efektivitas pengawasan pelaksanaan pemilu, sebaiknya memanfaatkan pengawasan dari publik. Sementara penanganan aduan pelanggaran pemilu ditangani secara langsung oleh Kepolisian. Dengan demikian, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) tidak diperlukan lagi.
Hal itu disampaikan anggota DPD RI KH. Muhammad Nuh, M.SP terkait adanya kekhawatiran sejumlah kalangan bahwa kecurangan yang dinilai terjadi secara terstruktur, sistematis, dan masif pada Pemilu 2024 kemarin terulang kembali pada Pilkada serentak 2024 yang akan dilaksanakan secara serentak November 2024 mendatang,” kata M. Nuh dalam keterangan nya, Jum’at (17/4/2024).

Usul itu juga disampaikannya bertepatan dengan rencana Pemerintah dan DPR akan melakukan pengkajian ulang sistem pemilu melalui revisi sejumlah UU terkait kepemiluan.
Dia menjelaskan, kecurangan pemilu yang ditengarai akan melibatkan Presiden Joko Widodo pada pilkada serentak 2024 ini seperti pemilu lalu terutama di daerah-daerah yang bakal diikuti anggota keluarga dan orang-orang dekatnya dinilai kemungkinan tidak akan terjadi. Sebab, sebulan sebelum pencoblosan, masa jabatan Jokowi sudah berakhir.
“Waktu itu memang ada wacana (dimajukan) September sehingga Pak Jokowi masih sebagai presiden (ketika pelaksanaan pilkada). Tapi akhirnya realistis semua, tetap (dilaksanakan) November,” papar senator DPD RI asal Sumatera Utara ini.
Namun, dia mengingatkan, pelaksanaan pemilu di tingkat daerah seperti pemilihan DPRD dan pilkada memang sangat rawan kecurangan. Tapi hal ini sebenarnya tidak terkait dengan pusat.
“Di tingkat daerah terutama kabupaten/kota yang jauh dari pusat, itu tingkat permainannya bisa lebih tinggi. Jadi bukan hanya dampak dari penguasa nasional, tapi juga dinamika daerah,” kata politikus yang juga pendidik dan tokoh agama ini.
Terlebih, pelaksanaan pilkada serentak 2024 ini diikuti 37 provinsi dan 508 kabupaten/kota. Sehingga pengawasan tidak bisa dilakukan secara maksimal. “Itu kan tidak sederhana. Konsentrasinya tidak mudah. Kecuali pelaksanannya berjenjang seperti kita wacanakan, itu akan lebih siap,” ungkapnya.
Karena itu ke depan, untuk mencegah terjadinya kecurangan, dia mengusulkan, pengawasan dilakukan oleh publik secara langsung. Sementara yang memproses aduan pelanggaran pemilu, baik yang dilakukan KPU sebagai pelaksana atau peserta pemilu dan yang terkait, ditangani langsung oleh Kepolisian.
“Pelanggaran hukum itu kan polisi (yang menangani). Kita mengoptimalkan fungsi polisi,” ucap pengasuh Pesantren Al Uswah yang juga Dewan Pertimbangan MUI Sumut ini.
Dengan demikian menurutnya, tidak diperlukan lagi Bawaslu yang kini terdapat dari tingkat pusat sampai kabupaten/kota dan Panwaslu yang ada di tingkat kecamatan dan kelurahan/desa.
“Itu kalau kita kembalikan kepada pengawasan publik, kan lebih bagus. Jadi masyarakat bisa melaporkan ke polisi. Polisi ini orang-orang yang sudah ada sejak lama, cuman belakangan terlalu…, ya begitu keadaannya. Makanya polisi kita perbaiki. Saya yakin masih banyak (polisi) yang baik-baik,” tuturnya.
Bawaslu tidak diperlukan lagi, menurutnya, untuk efisiensi. Juga karena dia mempertanyakan efektivitas kinerja Bawaslu dalam melakukan pengawasan, pencegahan, sekaligus penindakan pelanggaran pemilu selama ini.
“Karena walau bagaimana, di samping (keberadaan Bawaslu) menambah biaya, juga biasanya (Bawaslu jadi tempat) penampungan para relawan. Jadi kita buatlah struktur lembaga negara kita itu ramping, tapi kerjanya optimal. Kita optimalkan polisi yang tugasnya memang untuk itu (penanganan pelanggaran hukum),” tutup senator asal Sumut tersebut.