Korannusantara.id-Jakarta, Sidang sengketa pilpres di Mahkamah Konstitusi (MK) telah menjadi sorotan dalam menentukan arah politik sebuah negara, baik di Indonesia maupun di negara-negara demokrasi lainnya.
Keadilan, keseimbangan, dan kepentingan negara harus menjadi dasar dalam mengambil keputusan, bukan hanya memihak pada kepentingan politik tertentu. Dalam hal ini, peran amicus curiae, atau “teman pengadilan,” memiliki peranan penting dalam memastikan bahwa perspektif yang beragam didengar sebelum pengadilan membuat keputusan.
Sengketa pilpres 2024 menimbulkan ketegangan politik yang tinggi antara kubu yang bersengketa. Kubu 01 Anies-Muhaimin dan kubu 03 Ganjar-Mahfud meyakini adanya kecurangan dalam pilpres yang menguntungkan kubu 02 Prabowo-Gibran. Demi menegakkan keadilan, kubu 01 dan 03 mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi agar pasangan 02 dianulir dan pilpres diulang tanpa melibatkan pasangan 02.
Siapa yang Tepat Menjadi Amicus Curiae?
Amicus curiae dapat dilakukan oleh kedua pihak pihak yang tidak terlibat langsung dalam sengketa (pengusung capres cawapres), namun memiliki pengetahuan atau kepentingan yang relevan terhadap kasus tersebut, sehingga pernyataannya murni untuk keadilan. Dengan demikian, kedua pihak yang bersengketa dapat memastikan bahwa sudut pandangnya didengar, dan pengadilan memiliki informasi yang lebih lengkap sebelum membuat keputusan.
Hal prinsip bagi MK adalah menimbang keputusannya berdasarkan kepentingan bangsa dan negara, bukan kepentingan politik atau kekuatan tertentu. Pengadilan harus berdiri di atas kepentingan parpol, tokoh politik, atau kekuatan eksternal lainnya, dan memastikan bahwa keputusan yang diambil menguntungkan seluruh masyarakat Indonesia baik yang ada di dalam maupun luar negeri.
Ketua Parpol Pengusung Capres Menjadi Amicus Curiae?
Sqlah satu contoh amicus curiae yang dilakukan oleh ketua parpol pengusung yang secara langsung memiliki keterkaitan dengan capres cawapres yang bersengketa terdapat di berbagai negara, seperti pada kasus Bush vs Gore pada tahun 2000 di Amerika Serikat. Dalam kasus tersebut, ketua Partai Republik saat itu, James A. Baker III, turut berperan sebagai amicus curiae yang mewakili kubu George W. Bush. Namun, partisipasinya menimbulkan kontroversi karena dianggap sebagai upaya untuk mempengaruhi pengadilan.
Di Indonesia, belum ada contoh konkret di mana ketua parpol pengusung capres cawapres yang bersengketa turut berperan sebagai amicus curiae dalam sengketa pilpres di MK. Namun, hal ini dapat menjadi pertimbangkan MK sebagai langkah menuju keseimbangan dan keadilan, tentu dengan mempertimbangkan prinsip-prinsip netralitas, keadilan, dan transparansi.
Keputusan untuk melibatkan ketua parpol sebagai amicus curiae harus didasarkan pada pertimbangan etika dan aturan hukum yang berkaku, serta memperhatikan potensi konflik kepentingan yang mungkin timbul.
Oleh: Agusto Sulistio – Mantan Kepala Aksi & Advokasi PIJAR era tahun 90an. Kalibata City