Korannusantara.id, Yogyakarta adalah kota yang sangat berharga bagi kader-kader Himpunan Mahasiswa Islam di seluruh Indonesia. Karena kota tersebut menjadi tempat lahirnya Himpunan Mahasiswa Islam dan menjadi tempat bersedihnya para kader.
Pendiri Himpunan Mahasiswa Islam sekaligus yang dinobatkan sebagai Pahlawan Nasional meninggal dunia dan dimakamkan di Yogyakarta tepatnya di Makam Karangkajen.
Dengan segala bentuk perjuangan beliau sebagai pendiri HMI, membuat kita yang tidak pernah bertemu langsung dengan beliau tetapi hanya bertemu makamnya saja bisa hampir sama rasa cinta dan sayangnya terhadap Himpunan ini.
Mengapa demikian? Selama penulis berada di kota pelajar, banyak hal-hal yang menjadi tolak ukur perjuangan dalam mengabdikan diri kepada Himpunan.
Dengan melihat itu semua, harapan yang di harapkan pendiri HMI untuk tujuan keummatan membuat HMI dikenal sebagai kader umat dan kader bangsa.
Dengan adanya perkaderan yang secara sistematis, terstruktur dan dilakukan secara sadar untuk mencapai Ridho Allah SWT, selama penulis berada dalam sejarah berjuang nya HMI, banyak hal-hal yang sudah tidak lagi sesuai dengan esensi nya. Dalam artian HMI sudah jauh dari kata hal mendasar atau hal yang mutlak kenapa HMI dibentuk.
Memasuki milenium baru, semua bangsa di dunia, tidak terkecuali bangsa Indonesia, sedang mengalami transformasi besar-besaran dan amat mendasar dalam semua dimensi kehidupan, ekonomi, sosial budaya, dan politik.
Pada millenium baru ini, akan tumbuh masyarakat dunia baru dengan ciri yang berbeda dengan ciri-ciri masyarakat lama. Dalam konteks ini, bangsa Indonesia sedang membangun sebuah masyarakat baru. Membangun masyarakat baru masa depan tidak dapat tidak mengandung dua dimensi, yaitu dimensi ideal, dan dimensi pragmatis.
Idealisme ini penting untuk memberikan arah serta untuk menjaga agar bangsa kita tidak kehilangan sense of being dan sense of purpose. Singkatnya jati diri atau khittah sebagai bangsa. Kita juga harus pragmatis, mengingat upaya mewujudkan sesuatu yang ideal bisa memerlukan waktu yang lama, bahkan merupakan upaya yang tidak hentinya (unendingquese).
Sering kali kader HMI terjebak dalam pragmatisme karena menganggap HMI sudah besar dan menjadikan langkah untuk mendapatkan keuntungan. Itulah yang menjadi alasan mengapa kader-kader yang telah menyelesaikan Basic Training terjebak dalam lingkaran tersebut.
Tidak adanya tempat bagi mereka untuk berproses dan bagaimana menjadi kader umat dan kader bangsa. Maka seharusnya HMI kembali ke esensi semula yang selalu aktif dalam hal akademis, pencipta dan mengabdi.
Oleh : Sodikin (Kader HMI Labuhanabtu Raya)